Pergeseran Antroponimi Sunda: Studi Kasus Kabupaten Sumedang Mengungkap Dinamika Nama Pribadi
Pergeseran Antroponimi Sunda: Studi Kasus Kabupaten Sumedang Mengungkap Dinamika Nama Pribadi
Sebuah penelitian kolaboratif yang melibatkan para akademisi dari Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Padjadjaran (Unpad), telah mengungkap pergeseran signifikan dalam penggunaan nama-nama Sunda di Kabupaten Sumedang selama seabad terakhir (1920-2020). Studi ini, yang mengaplikasikan pendekatan etnomatematika dan etnoinformatika, menganalisis perubahan antroponimi—ilmu tentang penamaan orang—dengan menelusuri nama-nama yang populer, yang telah hilang, dan tren penamaan terbaru. Hasilnya memberikan gambaran menarik tentang dinamika budaya dan pengaruh modernisasi terhadap tradisi penamaan masyarakat Sunda.
Salah satu temuan kunci penelitian ini adalah hilangnya sejumlah nama Sunda tradisional dalam kurun waktu 90 tahun terakhir. Nama-nama seperti Boelah, Sunaja, Saim, Sundia, Djatma, Unamah, Entjil, Eyut, Kitji, dan Macih kini nyaris tak terdengar lagi. Hal ini kontras dengan munculnya tren penggunaan nama-nama modern, banyak di antaranya berakar dari budaya luar, seperti Khanza, Naura, Arsila, Keyla, Raffa, Rafka, Aqila, Zahra, Aleska, dan Keysa. Penelitian ini menunjukkan bagaimana nama-nama tersebut telah menggeser popularitas nama-nama Sunda tradisional, mencerminkan pengaruh globalisasi dan modernisasi terhadap pilihan nama dalam masyarakat.
Meskipun demikian, beberapa nama Sunda masih bertahan dan tetap menjadi favorit di Sumedang. Sepuluh nama terpopuler yang teridentifikasi dalam penelitian ini adalah Muhammad, Muhamad, Dede, Asep, Ade, Ai, Agus, Ani, Wawan, dan Cucu. Meskipun nama-nama ini masih umum digunakan, Prof. Dr. Atje Setiawan Abdullah, MS, MKom., Guru Besar FMIPA Unpad, menjelaskan bahwa penggunaannya secara relatif mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan pergeseran preferensi penamaan, bahkan di antara nama-nama Sunda yang sudah mapan.
Lebih lanjut, penelitian ini juga membandingkan tren penamaan di daerah perkotaan dan pedesaan. Prof. Atje menjelaskan bahwa di wilayah pedesaan, nama-nama Sunda masih lebih banyak digunakan, meskipun jumlahnya secara keseluruhan menurun. Sebaliknya, di daerah perkotaan, perubahan penggunaan nama jauh lebih signifikan, dengan nama-nama modern yang mendominasi. Perbedaan ini menyoroti bagaimana pengaruh modernisasi lebih terasa di daerah perkotaan dibandingkan daerah pedesaan.
Kesimpulan dari penelitian ini menekankan pentingnya pelestarian warisan budaya Sunda, termasuk dalam hal tradisi penamaan. Para peneliti berharap temuan ini dapat menjadi masukan berharga bagi masyarakat Sunda untuk lebih sadar dan terlibat aktif dalam menjaga kelangsungan tradisi penamaan yang kaya dan bersejarah. Dengan memahami pergeseran antroponimi ini, diharapkan masyarakat dapat membuat pilihan nama yang mencerminkan identitas budaya Sunda, sekaligus beradaptasi dengan perubahan zaman.
Berikut ringkasan temuan penelitian:
- Nama Sunda yang Hilang (90 tahun terakhir): Boelah, Sunaja, Saim, Sundia, Djatma, Unamah, Entjil, Eyut, Kitji, Macih.
- Nama yang Menjadi Tren (10 tahun terakhir): Khanza, Naura, Arsila, Keyla, Raffa, Rafka, Aqila, Zahra, Aleska, Keysa.
- Nama Favorit di Sumedang (Relatif Menurun): Muhammad, Muhamad, Dede, Asep, Ade, Ai, Agus, Ani, Wawan, Cucu.