Kejagung Pertimbangkan Sidang In Absentia dalam Kasus Satelit Kemenhan, Tersangka WNA Mangkir

Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) membuka opsi untuk menggelar persidangan tanpa kehadiran terdakwa (in absentia) dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait proyek pengadaan user terminal untuk satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) tahun 2016.

Opsi ini dipertimbangkan lantaran salah satu tersangka, Gabor Kuti, yang menjabat sebagai CEO Navayo International AG, sebuah perusahaan asing, terus menerus absen dari panggilan pemeriksaan yang dilayangkan oleh Kejagung. Ketidakhadiran Kuti dinilai menghambat proses hukum yang sedang berjalan.

"Jika mereka tidak hadir, kami akan mengajukan pelimpahan berkas ke pengadilan. Proses koneksitas tetap akan disidangkan. Hukum acara mengatur bahwa jika terdakwa tidak hadir, pengadilan dapat dilakukan secara in absentia," tegas Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil) Mayor Jenderal TNI M. Ali Ridho, saat ditemui di Gedung Kartika Kejagung, Jakarta, Jumat (20/6/2025).

Kuti, yang merupakan warga negara Hungaria, telah ditetapkan sebagai tersangka sejak Rabu, 7 Mei 2025. Sejak saat itu, ia tercatat telah tiga kali mangkir dari panggilan penyidik Kejagung. Pihak penyidik telah melayangkan panggilan keempat, namun proses penyidikan tetap berjalan, terlepas dari kehadiran atau ketidakhadiran Kuti.

"Jika kita terus menunggu, kasus ini tidak akan selesai. Ketidakhadiran tersangka akan membuat perkara Navayo ini berlarut-larut," imbuh Ali Ridho.

Sementara itu, dua tersangka lain dalam kasus ini, yakni Laksamana Muda TNI (Purn) Ir. Leonardi, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemenhan dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), serta Anthony Thomas Van Der Hayden, yang berperan sebagai perantara, telah dimintai keterangan oleh penyidik.

"Kedua tersangka tersebut sudah kami panggil dan mintai keterangan," jelas Ali.

Kasus ini bermula dari dugaan persekongkolan para tersangka dalam membuat pengadaan fiktif, meskipun mereka mengetahui bahwa Kemenhan tidak memiliki anggaran untuk belanja satelit. Pengadaan fiktif ini kemudian dijadikan dasar hukum untuk menggugat Indonesia di International Criminal Court (ICC).

"Navayo mengajukan invoice fiktif, dan invoice fiktif inilah yang diajukan ke pengadilan," ungkap Direktur Penindakan Jampidmil Kejagung, Brigjen Andi Suci, dalam konferensi pers di Kejagung, Kamis (8/5/2025).

Invoice fiktif ini terungkap setelah penyidik mendalami alur peristiwa dan kerja sama antara Navayo dan Leonardi. Pada tanggal 1 Juli 2016, Leonardi selaku PPK menandatangani kontrak dengan Gabor Kuti selaku CEO Navayo International AG terkait perjanjian penyediaan user terminal dan peralatan terkait senilai USD 34.194.300, yang kemudian berubah menjadi USD 29.900.000.

Penunjukan Navayo International AG sebagai pihak ketiga dalam proyek ini diduga tidak melalui proses pengadaan barang dan jasa yang sah. Navayo juga direkomendasikan oleh Anthony Thomas Van Der Hayden, yang saat penandatanganan kontrak menjabat sebagai Tenaga Ahli Satelit Kemenhan.

Setelah penandatanganan kontrak, Navayo menjadi kontraktor pelaksana pengadaan user terminal untuk satelit Kemenhan. Kemudian, Navayo mengklaim telah melakukan pekerjaan berupa pengiriman barang ke Kemenhan.

Dengan persetujuan dari Mayor Jenderal TNI (Purn) Bambang Hartawan dan Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi, Letkol Tek Jon Kennedy Ginting dan Kolonel Chb Masri menandatangani empat Surat Certificate of Performance (CoP) atau Sertifikat Kinerja terkait pekerjaan yang diklaim telah dilaksanakan oleh Navayo. Ironisnya, CoP ini justru disiapkan oleh Anthony Thomas Van Der Hayden. Sebelum CoP ditandatangani, tidak ada pengecekan terhadap keberadaan barang yang dikirim oleh Navayo.

Setelah CoP diterbitkan, Navayo mengirimkan empat invoice ke Kemenhan untuk menagih pembayaran. Namun, hingga tahun 2019, Kemenhan tidak memiliki anggaran untuk pengadaan satelit tersebut. Akibatnya, Navayo menggugat Indonesia di pengadilan internasional.

Pada awal tahun 2025, Indonesia dinyatakan bersalah oleh Arbitrase Singapura dan harus membayar USD 20.862.822 kepada Navayo.

"Kementerian Pertahanan RI harus membayar sejumlah USD 20.862.822 berdasarkan Final Award Putusan Arbitrase Singapura karena telah menandatangani Certificate of Performance (CoP)," jelas Andi Suci.

Menurut perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kegiatan yang dilakukan oleh Navayo International AG telah menimbulkan kerugian negara sebesar USD 21.384.851,89.

Dalam proses penyidikan, sejumlah ahli satelit Indonesia diminta untuk memeriksa hasil kerja Navayo. Para ahli memeriksa 550 handphone yang menjadi sampel barang dari Navayo. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa handphone tersebut bukan merupakan handphone satelit dan tidak dilengkapi Secure Chip sebagaimana dipersyaratkan dalam kontrak.

Para ahli juga memeriksa master program yang dibuat oleh Navayo, yang tertuang dalam 12 buku Milestone 3 Submission. Setelah dipelajari, master program tersebut tidak dapat membangun sebuah program user terminal.

Atas dasar temuan-temuan tersebut, Leonardi, Thomas Van Der Hayden, dan Gabor Kuti ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka ini juga bertujuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran sejumlah USD 20.862.822 berdasarkan Final Award Putusan Arbitrase Singapura dan permohonan penyitaan Wisma Wakil Kepala Perwakilan Republik Indonesia, rumah dinas Atase Pertahanan, dan apartemen Koordinator Fungsi Politik KBRI di Paris oleh Juru Sita Paris atas Putusan Pengadilan Paris yang mengesahkan Putusan Tribunal Arbitrase Singapura tanggal 22 April 2021 yang dimohonkan oleh Navayo International AG atas putusan Arbitrase International Commercial Court (ICC) Singapura.

Ketiga tersangka diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 Jo Pasal 64 KUHP; atau Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 Jo Pasal 64 KUHP; atau Pasal 8 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 Jo Pasal 64 KUHP.

  • Daftar Bukti:
    • Invoice
    • Certificate of Performance
    • Master Program
    • Handphone