Maraknya Pekerja Migran Ilegal Melalui Jalur Tidak Resmi di Kalimantan Barat: Pemerintah Cari Solusi Komprehensif

Kalimantan Barat menjadi sorotan utama dalam upaya pemberantasan pengiriman pekerja migran ilegal. Menteri Pemberdayaan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, mengungkapkan kekhawatiran mendalam terkait peningkatan signifikan aktivitas ini melalui jalur-jalur tidak resmi, yang sering disebut sebagai 'jalur tikus'. Pernyataan ini disampaikan usai Deklarasi Cegah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Pontianak, yang melibatkan kepolisian dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.

Karding menjelaskan bahwa keberadaan lebih dari 70 jalur ilegal yang tersebar di sepanjang perbatasan Kalimantan Barat menjadi tantangan besar. Ironisnya, jumlah pekerja migran yang berangkat secara ilegal melalui jalur ini tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang mengikuti prosedur resmi. Fenomena ini tidak hanya melibatkan warga Kalimantan Barat, tetapi juga menarik minat dari berbagai daerah lain seperti Sulawesi, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Jawa, hingga Sumatera, yang tergiur oleh kemudahan yang ditawarkan.

Masalah utama dari penggunaan jalur ilegal ini adalah kerentanan pekerja migran. Tanpa dokumen resmi, mereka kehilangan perlindungan negara dan menjadi target empuk eksploitasi serta tindak kriminal lainnya di negara tujuan. Karding menegaskan bahwa pemerintah kesulitan memberikan bantuan jika mereka menghadapi masalah di luar negeri karena status mereka tidak tercatat dalam sistem.

Untuk mengatasi masalah ini, Karding telah berdiskusi dengan Gubernur Kalimantan Barat mengenai penanganan pekerja migran yang dideportasi dari Malaysia, terutama dari wilayah Sarawak dan Sabah. Banyak dari mereka yang kembali ke Kalimantan Barat tanpa dokumen yang sah, meskipun telah berkeluarga di Malaysia. Pemerintah berupaya mencari solusi komprehensif, termasuk memberikan afirmasi melalui koordinasi dengan pemerintah daerah untuk memastikan mereka memiliki dokumen kependudukan dan ketenagakerjaan yang sah. Bagi mereka yang masih ingin bekerja di luar negeri, pemerintah akan mengarahkan mereka untuk mengikuti prosedur resmi. Sementara itu, bagi mereka yang ingin menetap di Indonesia, pemerintah akan memfasilitasi program transmigrasi, baik di dalam Kalimantan Barat maupun di luar provinsi.

Karding berharap deklarasi bersama yang melibatkan berbagai pihak, termasuk Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), tokoh adat, masyarakat sipil, dan pemerintah daerah, dapat menekan laju pengiriman pekerja migran ilegal secara signifikan. Ia menekankan bahwa masalah ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut dan membutuhkan keberpihakan nyata terhadap pekerja migran, mulai dari proses perekrutan hingga penempatan dan perlindungan di luar negeri.

Upaya penanganan pekerja migran ilegal memerlukan pendekatan yang holistik dan terkoordinasi. Pemerintah tidak hanya fokus pada penegakan hukum terhadap pelaku pengiriman ilegal, tetapi juga memberikan solusi alternatif bagi pekerja migran agar mereka tidak terjerumus ke dalam praktik ilegal. Selain itu, sosialisasi mengenai bahaya dan risiko bekerja di luar negeri tanpa dokumen resmi perlu ditingkatkan agar masyarakat lebih waspada dan tidak mudah tergiur oleh janji-janji manis dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.