Kekerasan Seksual pada Anak: Trauma Masa Lalu dan Paparan Pornografi Sebagai Faktor Pemicu?
Kasus kekerasan seksual pada anak kembali menjadi sorotan tajam di Indonesia. Setelah mencuatnya kasus sodomi yang dilakukan seorang anak berusia delapan tahun terhadap balita di Bekasi, publik kembali dikejutkan dengan kasus pencabulan dan kekerasan seksual yang dilakukan pemilik panti asuhan di Surabaya terhadap anak-anak asuhnya selama tiga tahun. Kasus-kasus ini, hanyalah sebagian kecil dari fenomena gunung es kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menunjukkan peningkatan kasus kekerasan seksual yang signifikan. Terhitung mulai 1 Januari 2025, tercatat 12.726 kasus, meningkat sekitar 14,17 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini mengindikasikan bahwa masalah kekerasan seksual, khususnya pada anak, merupakan isu krusial yang membutuhkan penanganan serius dan komprehensif.
Menanggapi tren peningkatan yang mengkhawatirkan ini, Dr. Ike Herdiana, seorang dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR), menjelaskan bahwa pelaku kekerasan seksual umumnya memiliki faktor pendorong yang kuat. Salah satu faktor yang signifikan adalah riwayat trauma kekerasan seksual di masa lalu. Pengalaman menjadi korban kekerasan di masa lampau dapat menjadi pemicu perilaku kekerasan di kemudian hari.
"Pelecehan seksual anak terhadap balita merupakan isu yang serius dan kompleks, karena melibatkan banyak sekali faktor," ujar Dr. Ike.
Selain trauma masa lalu, kurangnya pendidikan seksual yang memadai dan lingkungan sosial yang tidak aman juga dapat berkontribusi pada munculnya perilaku kekerasan seksual. Dr. Ike menyoroti bahwa dalam kasus terbaru, pelaku yang masih berusia delapan tahun diduga telah terpapar konten pornografi. Akses mudah terhadap pornografi melalui teknologi menjadi kekhawatiran tersendiri, karena anak-anak menjadi lebih rentan terhadap paparan konten yang tidak pantas.
Pentingnya Peran Orang Tua
Dr. Ike menekankan pentingnya peran orang tua dalam mencegah dan mengatasi paparan pornografi pada anak. Orang tua diimbau untuk tetap tenang dan memberikan edukasi dengan bahasa yang mudah dipahami anak. Membangun hubungan yang terbuka dan jujur dengan anak sangat penting agar anak merasa nyaman untuk berbagi pengalaman dan kekhawatiran mereka.
"Jangan langsung memarahi atau menghakimi anak karena anak akan takut dan berbohong di kemudian hari. Ajak bicara dengan pendekatan yang terbuka dan empati, serta orangtua harus mampu mendengarkan tanpa menginterupsi," jelasnya.
Tanda-Tanda Potensi Pelaku dan Intervensi yang Dibutuhkan
Dr. Ike juga menjelaskan ciri-ciri anak yang berisiko menjadi pelaku pelecehan seksual. Ciri-ciri tersebut meliputi penggunaan bahasa seksual atau istilah dewasa yang tidak sesuai dengan usia mereka, kesulitan mengendalikan emosi, dan obsesi terhadap melihat atau menyentuh tubuh orang lain tanpa batasan.
Dalam menangani kasus kekerasan seksual, Dr. Ike menyarankan agar baik pelaku maupun korban mendapatkan intervensi dari ahli. Asesmen psikologis atau psikiatris secara komprehensif diperlukan untuk memahami kondisi psikologis masing-masing individu. Psikoterapi juga penting untuk meningkatkan empati dan tanggung jawab pelaku, serta mengajarkan pengendalian dorongan dan emosi. Pendampingan psikologis juga diperlukan bagi keluarga pelaku maupun korban.
Sebagai langkah pencegahan, Dr. Ike mengimbau orang tua dan masyarakat untuk:
- Mengenali tanda-tanda awal pelecehan.
- Mengawasi interaksi anak dengan orang lain.
- Membatasi dan memantau akses teknologi.
Dengan meningkatkan kesadaran dan melakukan tindakan pencegahan yang tepat, diharapkan kasus kekerasan seksual pada anak dapat diminimalkan.