Kasus Pencabulan Eks Kapolres Ngada: Tuntutan Keadilan dan Perlindungan bagi Korban
Kasus Pencabulan Eks Kapolres Ngada: Tuntutan Keadilan dan Perlindungan bagi Korban
Kasus pencabulan yang dilakukan oleh mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, terhadap tiga anak di bawah umur telah mengguncang Nusa Tenggara Timur (NTT) dan menimbulkan gelombang keprihatinan. Perbuatan bejat ini tak hanya melanggar hukum, tetapi juga menghancurkan masa depan para korban yang masih berusia belia. Aktivis perempuan NTT, Imelda Sulis Setiawati, dengan tegas menyatakan bahwa tindakan AKBP Fajar merupakan kejahatan yang sangat keji dan mengerikan, yang secara sistematis merampas masa depan cerah anak-anak tersebut. Sebagai aparat penegak hukum, seharusnya AKBP Fajar menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, bukan malah menjadi pelaku kejahatan seksual yang mencoreng institusi kepolisian.
Imelda, yang juga Manajer LSM Yayasan Pengembangan Kemanusiaan Donders, mendesak agar proses hukum berjalan adil dan tanpa pandang bulu. Ia menekankan pentingnya penegakan hukum yang tegas dan tidak tebang pilih, dengan prinsip “adil bagi semua, tanpa diskriminasi”. Ia menyayangkan jika proses hukum justru mengalami bias dan tidak memberikan keadilan bagi para korban. “Jangan sampai hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah,” tegas Imelda. Lebih lanjut, Ia menekankan pentingnya memberikan pendampingan psikologis, rohani, dan kesehatan yang komprehensif bagi para korban. Hal ini bertujuan untuk membantu para korban memulihkan kondisi psikis dan fisik mereka yang terguncang akibat trauma yang dialami. Dukungan juga sangat diperlukan untuk keluarga korban agar mereka mampu menghadapi dampak sosial dari peristiwa ini.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Kupang, Imelda Manafe, mengungkapkan bahwa ketiga korban berusia 14, 12, dan 3 tahun. Pihaknya telah menerima penyerahan ketiga korban dari Mabes Polri dan saat ini tengah memberikan pendampingan intensif, khususnya kepada korban berusia 12 tahun. Korban berusia 14 tahun hingga saat ini masih dalam proses pencarian dan upaya pendekatan. Sedangkan korban berusia 3 tahun didampingi oleh orang tuanya. Kejadian ini menjadi sorotan tajam, karena menggambarkan betapa rentannya anak-anak terhadap kejahatan seksual, dan betapa pentingnya peran semua pihak dalam melindungi mereka.
Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, Imelda Sulis Setiawati menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan aparat penegak hukum. Upaya sosialisasi dan edukasi di sekolah-sekolah dan kampus menjadi langkah krusial. Penguatan kapasitas kader dan pekerja kemanusiaan juga perlu dilakukan untuk membentuk garda terdepan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak. Dengan demikian, diharapkan upaya preventif dapat berjalan efektif dan melindungi anak-anak dari ancaman kejahatan seksual di masa mendatang. Kasus ini menjadi pengingat penting akan perlunya komitmen bersama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi.
Langkah-langkah konkret yang dibutuhkan: * Penegakan hukum yang tegas dan adil: Proses hukum harus transparan dan memastikan keadilan bagi korban. * Pendampingan komprehensif bagi korban: Termasuk pendampingan psikologis, rohani, dan medis. * Sosialisasi dan edukasi pencegahan: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kekerasan seksual terhadap anak. * Kolaborasi antar lembaga: Kerjasama yang erat antara pemerintah, LSM, dan aparat penegak hukum. * Penguatan kapasitas pekerja sosial: Membekali pekerja sosial dengan keterampilan dan pengetahuan yang memadai.