Abrasi Ancam Keberlangsungan Desa Anak Setatah: Puluhan Rumah dan Ratusan Hektar Lahan Hilang

Desa Anak Setatah, yang terletak di Kecamatan Rangsang Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, menghadapi ancaman serius akibat abrasi yang semakin parah. Fenomena alam ini telah mengakibatkan hilangnya sejumlah besar lahan, rumah penduduk, fasilitas umum, dan bahkan area pemakaman, mengancam keberlangsungan hidup masyarakat setempat.

Erosi pantai yang terus-menerus menggerus daratan, terutama disebabkan oleh ketiadaan infrastruktur pelindung seperti pemecah ombak, telah mengubah lanskap desa ini secara drastis. Dampaknya tidak hanya merusak fisik lingkungan, tetapi juga menghancurkan mata pencaharian dan meningkatkan kemiskinan di wilayah tersebut.

Kepala Desa Anak Setatah, Zulhaidi, mengungkapkan keprihatinannya atas situasi yang semakin memburuk. Ia menggambarkan laut sebagai "pemangsa menakutkan" yang mengancam desa yang terletak di salah satu daerah termiskin di Riau. Menurutnya, sekitar 20 rumah warga telah terdampak langsung oleh abrasi, memaksa mereka untuk mencari tempat tinggal baru, baik dengan menumpang di tanah keluarga atau pindah ke daerah lain.

Abrasi di Desa Anak Setatah bukanlah fenomena baru. Sejarah mencatat bahwa erosi pantai ini telah berlangsung sejak tahun 1960-an, dengan dampak kerusakan mulai dirasakan pada tahun 1970-an. Selain rumah dan fasilitas umum, abrasi juga telah menghancurkan sekitar 500 hektar lahan perkebunan, termasuk kebun kelapa, karet, dan rumbia. Kondisi ini semakin memperburuk kondisi ekonomi masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, nelayan, dan buruh.

Zulhaidi menambahkan bahwa hilangnya lahan kuburan akibat abrasi telah memaksa masyarakat untuk membangun tempat pemakaman umum (TPU) yang baru. Bahkan, sebuah masjid juga terpaksa dipindahkan karena tergerus oleh ombak laut. Untuk mengatasi masalah ini, Zulhaidi mengusulkan pembangunan pemecah ombak dan reboisasi pantai dengan menanam lebih banyak mangrove.

"Menangani abrasi bukan hal yang mudah tentunya. Ada kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah," ujarnya. Ia memperkirakan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan kondisi abrasi tersebut berkisar antara Rp 10 miliar hingga Rp 15 miliar. Zulhaidi berharap pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Riau dapat berkolaborasi dalam menangani persoalan abrasi ini demi keberlangsungan hidup masyarakat di kepulauan.

Berikut adalah beberapa dampak signifikan dari abrasi di Desa Anak Setatah:

  • Kehilangan tempat tinggal: Sekitar 20 rumah warga telah terdampak abrasi dan memaksa mereka untuk mengungsi.
  • Kerusakan lahan perkebunan: Abrasi telah menghancurkan sekitar 500 hektar lahan perkebunan, termasuk kebun kelapa, karet, dan rumbia.
  • Kerusakan fasilitas umum: Abrasi telah menghancurkan fasilitas umum seperti masjid dan tempat pemakaman umum.
  • Peningkatan kemiskinan: Abrasi telah memperburuk kondisi ekonomi masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, nelayan, dan buruh.
  • Ancaman terhadap ekosistem: Abrasi dapat merusak ekosistem hutan dan mengganggu keseimbangan ekosistem laut.

Untuk mengatasi masalah abrasi ini, Zulhaidi mengusulkan beberapa solusi, antara lain:

  • Pembangunan pemecah ombak: Pembangunan pemecah ombak dapat membantu mengurangi dampak abrasi dengan memecah energi gelombang sebelum mencapai pantai.
  • Reboisasi pantai: Penanaman mangrove dapat membantu memperkuat garis pantai dan mengurangi erosi.
  • Kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah: Penanganan abrasi membutuhkan kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan ketersediaan sumber daya dan koordinasi yang efektif.