Pakar Hukum Pertanyakan Relevansi Pasal Perintangan Penyidikan dalam Kasus yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap

Ahli Hukum Pidana Ungkap Kejanggalan Penerapan Pasal Perintangan Penyidikan

Seorang ahli hukum pidana dari Universitas Wahid Hasyim Semarang, Mahrus Ali, menyatakan bahwa penerapan Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terkait perintangan penyidikan menjadi tidak relevan jika perkara pokoknya telah berjalan hingga memiliki kekuatan hukum tetap atau inkracht. Pernyataan ini ia sampaikan saat menjadi saksi ahli dalam sidang dugaan suap dan perintangan penyidikan yang melibatkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P, Hasto Kristiyanto, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

Dalam kesaksiannya, Mahrus Ali menjelaskan bahwa esensi dari perintangan penyidikan adalah menghalangi proses hukum itu sendiri. Jika suatu perkara telah berhasil melewati proses penyidikan, penuntutan, hingga akhirnya diputus oleh pengadilan dan memiliki kekuatan hukum tetap, maka secara logika tidak mungkin terjadi perintangan penyidikan yang signifikan.

"Jika suatu perkara telah sampai pada tahap inkracht, itu menandakan bahwa penyidikan tidak terhambat dan berjalan sebagaimana mestinya," tegas Mahrus Ali. Ia menambahkan bahwa Undang-Undang Tipikor secara jelas mengatur bahwa perintangan yang dimaksud adalah yang terjadi pada tahap penyidikan, bukan penyelidikan.

Penjelasan Lebih Lanjut Mengenai Tahapan Hukum

Mahrus Ali juga menjelaskan perbedaan mendasar antara tahap penyelidikan dan penyidikan dalam proses hukum pidana. Menurutnya, pada tahap penyelidikan, aparat penegak hukum masih mencari dan mengumpulkan informasi awal untuk menentukan apakah terdapat dugaan tindak pidana. Pada tahap ini, belum ada proses pro justitia atau penggunaan alat bukti secara formal.

"Proses pro justitia baru dimulai pada tahap penyidikan, di mana alat bukti mulai dikumpulkan dan dianalisis secara mendalam," jelasnya. Dengan demikian, penerapan Pasal 21 Undang-Undang Tipikor seharusnya hanya relevan jika perintangan terjadi pada tahap penyidikan, yaitu ketika proses hukum telah berjalan secara formal.

Dengan kata lain, jika suatu perkara telah berjalan lancar hingga putusan pengadilan, maka klaim adanya perintangan penyidikan menjadi sulit untuk dibuktikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai dasar hukum dan logika di balik penerapan pasal tersebut dalam konteks perkara yang telah berkekuatan hukum tetap.

Implikasi Hukum dan Kontroversi

Keterangan ahli hukum ini tentu saja memiliki implikasi yang signifikan terhadap kasus yang sedang berjalan. Jika pengadilan sependapat dengan pandangan Mahrus Ali, maka dakwaan terkait perintangan penyidikan dapat menjadi lemah dan berpotensi untuk dibatalkan.

Kasus ini juga menyoroti pentingnya pemahaman yang tepat dan konsisten terhadap undang-undang dan tahapan-tahapan dalam proses hukum pidana. Penafsiran yang keliru atau tidak konsisten dapat menyebabkan ketidakadilan dan merugikan pihak-pihak yang terlibat dalam perkara tersebut.

  • Penyelidikan: Tahap awal pengumpulan informasi untuk menentukan ada atau tidaknya tindak pidana.
  • Penyidikan: Tahap pengumpulan dan analisis alat bukti secara formal (pro justitia).
  • Inkracht: Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Keterangan ahli ini diharapkan dapat memberikan pencerahan dan membantu pengadilan dalam mengambil keputusan yang adil dan berdasarkan hukum yang berlaku.