Manuver Senyap USS Nimitz di Perairan Indonesia: Analisis dan Implikasinya
markdown Sejumlah pengamat militer menyoroti pergerakan kapal induk Amerika Serikat (AS), USS Nimitz (CVN-68), yang melintasi perairan Indonesia baru-baru ini. Peristiwa ini memicu diskusi hangat, terutama karena kapal tersebut dilaporkan mematikan sinyal Automatic Identification System (AIS). Meskipun manuver semacam ini bukan hal baru dalam lalu lintas maritim global, konteks geopolitik saat ini, khususnya meningkatnya ketegangan antara Iran dan Israel, menambah lapisan kompleksitas pada situasi ini.
Khairul Fahmi, seorang pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), menjelaskan bahwa lalu lintas kapal perang di jalur laut strategis seperti Selat Malaka dan perairan Aceh adalah hal yang lazim. Kapal induk seperti USS Nimitz merupakan bagian dari proyeksi kekuatan global AS, dan perlintasan mereka di perairan internasional adalah bagian dari dinamika rutin. Namun, yang menjadi sorotan kali ini adalah keputusan kapal tersebut untuk menonaktifkan AIS.
AIS pada dasarnya adalah sistem pelacakan yang wajib aktif pada kapal komersial. Namun, kewajiban ini tidak berlaku untuk kapal perang atau militer. Menurut Khairul, kapal militer beroperasi di bawah aturan tersendiri dan sering kali menonaktifkan AIS untuk alasan keamanan operasional. Dengan demikian, hilangnya sinyal USS Nimitz mengindikasikan bahwa kapal tersebut mungkin sedang dalam 'mode operasi' dan bukan sekadar transit biasa.
Perlu digarisbawahi bahwa USS Nimitz memiliki hak untuk melintas damai (innocent passage) di perairan internasional tanpa memerlukan izin transit dari Indonesia, selama mematuhi regulasi UNCLOS dan tidak mengancam kedaulatan Indonesia. Namun, pertanyaan tetap ada: mengapa kapal tersebut memilih untuk mematikan sinyalnya?
Khairul Fahmi mengemukakan beberapa kemungkinan alasan di balik keputusan tersebut. Pertama, untuk menjaga kerahasiaan operasi militer. Kedua, untuk menghindari pelacakan oleh pihak-pihak yang mungkin bermusuhan. Ketiga, untuk menghindari potensi gangguan fisik maupun siber. Selain itu, tindakan ini juga bisa menjadi bagian dari pengujian reaksi sistem pengawasan negara lain di jalur lintasan.
“Jadi ini bukan sekadar bermaksud menyembunyikan diri, tapi ini juga bagian dari protokol militer standar. Yang jelas, dari jejak pelayaran USS Nimitz, sangat mungkin mereka tengah menuju kawasan konflik di Timur Tengah, mengingat eskalasi Israel-Iran yang sedang berlangsung,” tegas Khairul.
Terlepas dari alasan di balik hilangnya sinyal, TNI Angkatan Laut (AL) telah mengambil langkah-langkah yang tepat dengan memantau pergerakan kapal tersebut sejak memasuki wilayah pengawasan Indonesia. Tindakan ini sesuai dengan prosedur standar dalam menjaga kedaulatan dan keamanan maritim.
Khairul menambahkan, “Yang dilakukan TNI AL ini bukan karena ada kecurigaan khusus, melainkan memang bagian dari sistem maritime domain awareness yang dijalankan secara berkelanjutan. Mereka memantau pergerakan USS Nimitz sejak dari Laut Natuna hingga perairan Aceh, meskipun kapal tersebut mematikan AIS-nya. Ini menunjukkan bahwa sistem pengawasan maritim Indonesia bekerja dengan baik, dan tidak ada indikasi pelanggaran terhadap kedaulatan atau tindakan yang membahayakan.”
Oleh karena itu, Khairul menekankan bahwa tidak ada alasan untuk membesar-besarkan situasi ini sebagai ancaman. Namun, ia mengingatkan pentingnya menjaga sistem pemantauan laut dan jalur pelayaran utama Indonesia.
Sebelumnya, data pelacakan dari Marine Vessel Traffic menunjukkan bahwa USS Nimitz berhenti mengirimkan sinyal lokasi pada 17 Juni 2025. Sinyal terakhir kapal tersebut diterima saat berada di antara perairan Malaysia dan Indonesia. Arah pelayaran kapal tersebut mengindikasikan kemungkinan besar menuju kawasan Teluk Persia, yang diperkuat oleh pernyataan seorang pejabat pertahanan AS mengenai instruksi pemindahan kelompok penyerang kapal induk Nimitz ke wilayah Komando Pusat AS. Pengerahan ini diyakini sebagai respons terhadap meningkatnya konflik antara Israel dan Iran.
Khairul menambahkan, tindakan TNI AL yang terus mengikuti perkembangan secara teknis dan diplomatis sudah mencerminkan prinsip Indonesia sebagai negara yang bebas-aktif, tidak reaktif, tapi juga tidak lengah.