Terabaikan: Jeritan Panjang Penyintas Long COVID di Tengah Euforia Pemulihan

Pandemi COVID-19 mungkin telah mereda, namun bagi sebagian orang, pertempuran belum usai. Mereka adalah para penyintas Long COVID, kondisi pasca-infeksi yang menghantui dengan berbagai gejala berkepanjangan. Di tengah euforia pemulihan dan keinginan masyarakat untuk segera move on, suara mereka justru semakin teredam.

Banyak penyintas Long COVID yang merasa terabaikan dan tidak didengar. Mereka berjuang melawan kelelahan kronis, gangguan kognitif (atau dikenal sebagai brain fog), masalah jantung, dan berbagai gejala lainnya yang mengganggu kualitas hidup. Ironisnya, keluhan mereka sering kali dianggap remeh atau bahkan disalahartikan sebagai masalah psikologis.

Pengalaman Penyintas

Kisah seorang penyintas menggambarkan betapa beratnya beban yang harus ditanggung. Dulu seorang yang aktif dan produktif, kini ia kesulitan melakukan aktivitas fisik sederhana. Pekerjaan yang dulu mudah dilakukan, kini terasa sangat melelahkan. Rasa sakit dan nyeri yang tak kunjung hilang menghantuinya setiap hari.

Bukan hanya orang dewasa, anak-anak pun menjadi korban. Seorang anak berusia 11 tahun didiagnosis epilepsi setelah sembuh dari COVID-19. Sebelumnya, ia kerap mengeluh sakit kepala, sulit fokus, dan mengalami masalah penglihatan. Kondisi ini memaksanya untuk absen dari sekolah dan menjalani pengobatan yang mahal.

Minimnya Perhatian dan Dukungan

Sayangnya, isu Long COVID seolah menghilang dari radar. Kampanye edukasi tidak lagi gencar dilakukan. Layanan pemulihan khusus pun sulit diakses. Pemerintah dan pemangku kebijakan terkesan kurang memberikan perhatian pada masalah ini.

Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengingatkan bahwa Long COVID dapat menyerang siapa saja, bahkan mereka yang mengalami gejala ringan saat terinfeksi. Riset WHO memperkirakan bahwa 10-20% penyintas COVID-19 mengalami Long COVID. Angka ini bisa lebih tinggi di Asia karena banyak kasus infeksi yang tidak terdiagnosis.

Stigma dan Ketidakpercayaan

Kurangnya informasi yang akurat dan konsisten selama pandemi telah menimbulkan kebingungan dan ketidakpercayaan di masyarakat. Beberapa orang bahkan menganggap gejala Long COVID sebagai efek samping vaksin atau sekadar upaya untuk menakut-nakuti masyarakat.

Stigma ini membuat para penyintas semakin terpinggirkan. Keluhan mereka sering kali dibantah atau diabaikan. Mereka merasa tidak memiliki ruang untuk berbagi pengalaman dan mencari dukungan.

Dampak yang Lebih Luas

Long COVID bukan hanya masalah individu. Dampaknya dapat meluas ke berbagai sektor kehidupan. Penurunan fungsi kognitif akibat Long COVID dapat meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas. Gejala seperti kelelahan akut dan gangguan tidur dapat memengaruhi produktivitas kerja.

Beberapa perusahaan asuransi juga mencatat lonjakan klaim untuk masalah jantung, paru-paru, dan gangguan saraf dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini mengindikasikan bahwa Long COVID dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan publik.

Solidaritas dan Tindakan Nyata

Menghadapi Long COVID membutuhkan solidaritas dan tindakan nyata dari semua pihak. Pemerintah perlu membentuk layanan rehabilitasi Long COVID di rumah sakit rujukan. Komunitas penyintas dan LSM dapat memperkuat peran advokasi dan pendampingan. Media massa perlu memberikan ruang untuk cerita penyintas.

Sebagai individu, kita dapat berkontribusi dengan tetap memakai masker saat sakit, rutin memeriksakan kesehatan pascainfeksi, dan berbagi informasi yang benar.

Long COVID bukanlah aib. Ini adalah bagian dari realitas pascapandemi yang harus kita hadapi bersama. Dengan ilmu, empati, dan kebijakan yang tepat, kita dapat memberikan dukungan kepada para penyintas dan mencegah luka kolektif yang lebih dalam.