Regulasi Ekonomi Gig di Indonesia: Antara Kepastian Hukum dan Perlindungan Pekerja Ojol
Dilema Regulasi Ekonomi Gig dan Nasib Ojek Online di Indonesia
Industri ekonomi gig, khususnya sektor transportasi online yang dimotori oleh pengemudi ojek online (ojol), terus menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Di satu sisi, kehadiran ojol telah memberikan solusi mobilitas yang cepat dan efisien bagi masyarakat. Di sisi lain, status hukum dan perlindungan bagi para pengemudi ojol masih menjadi isu krusial yang belum menemukan titik terang.
Perdebatan mengenai status pengemudi ojol berkisar pada dua pilihan utama: menjadi karyawan atau tetap sebagai mitra. Sebagian pengemudi menginginkan status karyawan agar mendapatkan jaminan sosial dan perlindungan kerja yang lebih baik. Sementara itu, perusahaan aplikasi lebih memilih model kemitraan yang dianggap lebih fleksibel dan sesuai dengan karakteristik bisnis platform. Pemerintah sendiri tampaknya cenderung melihat ojol sebagai bagian dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang semakin memperumit persoalan regulasi.
Kompleksitas Regulasi dan Kebutuhan Payung Hukum yang Jelas
Ekonomi gig, dengan segala potensi dan manfaatnya, membawa serta kompleksitas regulasi yang perlu diatasi. Kajian dari Universitas Hasanuddin (2023) menyoroti tiga masalah utama: keterbatasan regulasi yang ada, ketidakjelasan definisi ekonomi gig, dan kebutuhan mendesak akan regulasi yang komprehensif. Tanpa regulasi yang jelas, investasi dan iklim usaha di sektor ini akan terhambat.
Saat ini, regulasi yang ada, seperti Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub), dianggap belum memadai untuk menjawab semua tantangan yang muncul. Wacana untuk memasukkan ojol ke dalam definisi UMKM juga menimbulkan kekhawatiran akan tumpang tindih regulasi. Padahal, ekonomi gig menawarkan peluang kerja baru di tengah keterbatasan lapangan kerja formal, dan banyak masyarakat yang beralih menjadi mitra ojol sebagai alternatif mata pencaharian.
Kemitraan yang Bertanggung Jawab atau Status Karyawan?
Inti permasalahan terletak pada bagaimana mengatur hubungan antara aplikator (perusahaan aplikasi) dan pengemudi ojol. Model kemitraan yang ada saat ini dinilai tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi pengemudi. Di sisi lain, jika pengemudi diangkat menjadi karyawan, perusahaan harus melakukan rasionalisasi yang berpotensi mengurangi jumlah pengemudi yang dipekerjakan.
Oleh karena itu, dibutuhkan payung hukum yang lebih kuat, idealnya berupa undang-undang (UU) khusus yang mengatur ekonomi gig secara komprehensif. UU ini harus mencakup berbagai aspek, mulai dari definisi yang jelas, hak dan kewajiban para pihak (aplikator, pengemudi, konsumen), hingga mekanisme pengawasan dan penegakan hukum. Regulasi yang hanya sebatas peraturan menteri dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakjelasan dan tumpang tindih kewenangan.
Menuju Regulasi yang Berkeadilan dan Berkelanjutan
Regulasi ekonomi gig harus sejalan dengan struktur hukum yang berlaku di Indonesia dan mampu memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. Hal ini sangat penting mengingat ekonomi gig bersifat multinasional dan memiliki implikasi yang luas bagi perekonomian nasional.
ILO (Organisasi Perburuhan Internasional) mendorong perubahan status pengemudi ojol menjadi karyawan agar mendapatkan perlindungan ketenagakerjaan yang lebih baik. Namun, usulan ini ditentang oleh sebagian pengemudi yang tergabung dalam Koalisi Ojol Nasional. Mereka khawatir perubahan status akan menyebabkan PHK massal dan meningkatkan pengangguran.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Hasanuddin, Rizal Pauzi, mengusulkan agar kemitraan tetap dipertahankan, tetapi dengan prinsip kemitraan yang bertanggung jawab. Artinya, semua pihak harus mendapatkan keuntungan yang adil: aplikator menyediakan layanan yang maksimal, pengemudi mendapatkan bagian yang adil, dan konsumen mendapatkan perlindungan.
Pada akhirnya, tugas pemerintah adalah menyiapkan regulasi yang memberikan kepastian hukum dan melindungi semua pihak yang terlibat dalam industri ekonomi gig. Regulasi tersebut harus mampu mendorong investasi, melindungi kepentingan masyarakat, dan memastikan keberlanjutan industri ekonomi gig di Indonesia.