Tata Kelola Pulau-Pulau Kecil di Indonesia Perlu Dibenahi: Belajar dari Sengketa Pulau Aceh
Sengketa wilayah empat pulau di Aceh, yang sebelumnya dimasukkan ke wilayah Sumatera Utara berdasarkan Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 tahun 2025, akhirnya menemui titik terang dengan keputusan Presiden Prabowo Subianto yang mengembalikan pulau-pulau tersebut ke wilayah administratif Aceh pada Selasa, 17 Juni 2025. Pakar geografi lingkungan dari IPB University, Dr. Rina Mardiana, mengapresiasi penyelesaian cepat kasus ini, namun menekankan perlunya perhatian serupa terhadap pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia yang masih menghadapi ketidakjelasan status.
Dr. Rina Mardiana menyoroti beberapa kasus krusial, seperti permasalahan di Rempang-Batam, dimana masyarakat menghadapi kebingungan akibat dualisme kepemimpinan. Wali Kota Batam, yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, memiliki peran ganda sebagai regulator dan operator investasi. Situasi ini menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat, apakah pejabat tersebut bertindak sebagai perwakilan pemerintah daerah atau perpanjangan tangan kepentingan investasi. Ketidakpastian administrasi terkait hak atas tanah masyarakat adat/lokal juga menjadi sumber permasalahan, diperparah dengan anggapan bahwa proyek strategis nasional tidak memberikan manfaat yang adil bagi warga setempat.
Selain itu, Dr. Rina juga menyoroti ketidakadilan dalam pembagian keuntungan ekonomi antara Papua dan Jakarta, yang berpotensi memicu ketegangan dan dimanfaatkan oleh pihak asing yang mendukung gerakan separatis di Papua. Ia mengingatkan bahwa jika pemerintah tidak merespons isu ini dengan serius, kedaulatan nasional dapat terancam. Ketiadaan administrasi kadastral yang sah secara hukum dapat menyebabkan Indonesia kehilangan wilayahnya, seperti yang terjadi pada kasus Sipadan-Ligitan yang jatuh ke tangan Malaysia pada tahun 2002.
Sengketa pulau-pulau di Aceh seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola wilayah, terutama pulau-pulau kecil yang seringkali terabaikan. Pulau-pulau kecil kini menjadi target investasi untuk berbagai kepentingan, mulai dari eksplorasi migas hingga pariwisata. Oleh karena itu, pemerintah harus menghormati identitas dan hak-hak masyarakat adat yang telah lama mendiami wilayah tersebut.
Dr. Rina mengkritik proses administratif yang kurang memperhatikan bukti-bukti historis. Ia mencontohkan, sebelum mengeluarkan keputusan terkait batas wilayah, Kemendagri seharusnya mempertimbangkan berbagai dokumen sejarah, seperti peta topografi TNI tahun 1978, kesepakatan bersama antara pemerintah daerah Sumatera Utara dan Aceh tahun 1988, serta SK Mendagri No. 111/1992 yang menegaskan batas Aceh-Sumut berdasarkan peta 1978.
Selain masalah administratif, Dr. Rina juga menyoroti potensi sumber daya alam yang besar di wilayah tersebut, khususnya cadangan gas di Cekungan Andaman yang berdekatan dengan Blok Singkil. Ia menjelaskan bahwa secara geologis, wilayah ini berada dalam jalur formasi yang sama dengan sumber-sumber migas Andaman, sehingga memiliki potensi yang signifikan.
Untuk memperjelas status pulau-pulau kecil di Indonesia, Dr. Rina merekomendasikan beberapa langkah:
- Mempercepat Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di pulau-pulau kecil.
- Memetakan seluruh wilayah, terutama pulau-pulau kecil, secara menyeluruh.
- Memisahkan peran regulator dan operator investasi untuk menghindari dualisme kewenangan.
- Memperlakukan semua daerah secara setara dan memberikan solusi yang adil dan cepat untuk permasalahan di wilayah lain, seperti Rempang dan Papua.
- Menerapkan tata kelola spasial yang kolaboratif dan demokratis, melibatkan dialog inklusif dengan masyarakat lokal, serta berdasarkan kajian historis dan sosio-kultural.
Dr. Rina menekankan pentingnya konsistensi dalam kebijakan pemerintah. Ia mengingatkan bahwa jika hanya Aceh yang ditangani dengan cepat sementara permasalahan di wilayah lain dibiarkan berlarut-larut, hal itu akan menciptakan ketidakadilan dan merusak persatuan bangsa.