Pilkada dan Oligarki Keluarga: Erosi Demokrasi Lokal di Indonesia?

Pilkada dan Oligarki Keluarga: Erosi Demokrasi Lokal di Indonesia?

Fenomena "politik dinasti" kembali mencuat dalam perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di berbagai daerah di Indonesia. Alih-alih menjadi ajang adu gagasan dan rekam jejak, Pilkada terkadang justru menjadi panggung bagi pewarisan kekuasaan dari orang tua ke anak, atau dari suami ke istri. Praktik ini mengkhawatirkan karena berpotensi menggerogoti fondasi demokrasi lokal dan mengubahnya menjadi semacam "bisnis keluarga".

Contohnya dapat dilihat pada kasus di Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, dan Pesawaran, Lampung, di mana bupati secara terang-terangan mendukung anggota keluarganya untuk maju sebagai calon kepala daerah. Ironisnya, kedua Pilkada ini merupakan Pemungutan Suara Ulang (PSU), yang seharusnya menjadi momentum evaluasi dan perbaikan dari proses demokrasi yang sebelumnya dianggap bermasalah. Dukungan terhadap anggota keluarga oleh kepala daerah petahana dapat menjadi preseden buruk dalam penyelenggaraan pilkada yang seharusnya berjalan secara adil dan demokratis. Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) juga menjadi sorotan, dengan indikasi adanya mobilisasi ASN untuk mendukung calon dari keluarga penguasa.

Akar Masalah Politik Dinasti

Praktik politik dinasti bukanlah fenomena baru di Indonesia. Edward Aspinall dan Muhammad Uhaib As'ad (2016) mendefinisikannya sebagai "perpindahan kekuasaan antar anggota keluarga melalui mekanisme pemilu." Beberapa faktor yang menyebabkan suburnya praktik ini antara lain:

  • Lemahnya Struktur Partai Politik: Partai politik seringkali gagal menjalankan fungsi kaderisasi dan rekrutmen yang adil dan transparan. Akibatnya, pintu pencalonan kepala daerah menjadi didominasi oleh elite keluarga.
  • Biaya Politik yang Tinggi: Pilkada membutuhkan modal finansial yang besar. Calon dari keluarga penguasa biasanya memiliki akses lebih mudah ke sumber daya dan jaringan, sehingga sulit disaingi oleh kandidat lain.
  • Insentif Kekuasaan di Level Lokal: Kekuasaan di level lokal seringkali menawarkan akses ke sumber daya ekonomi dan politik yang menggiurkan. Hal ini mendorong elite keluarga untuk mempertahankan dan mewariskan kekuasaan tersebut.

Ancaman Terhadap Demokrasi

Politik dinasti mengancam demokrasi dalam beberapa cara:

  • Membatasi Pilihan Pemilih: Ketika jalur pencalonan dikuasai oleh keluarga petahana, pemilih tidak memiliki banyak pilihan. Ruang untuk regenerasi dan munculnya pemimpin baru menjadi tertutup.
  • Menurunkan Akuntabilitas: Tanpa persaingan politik yang sehat, pemimpin daerah tidak memiliki insentif untuk bekerja lebih baik. Mereka merasa tidak perlu membangun legitimasi karena sudah memiliki modal elektoral dari "nama keluarga".
  • Memicu Korupsi dan Nepotisme: Politik dinasti seringkali beriringan dengan praktik korupsi dan nepotisme. Anggota keluarga penguasa cenderung memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri dan kroninya.

Perlunya Tindakan Tegas

Untuk mengatasi masalah politik dinasti, diperlukan tindakan tegas dari berbagai pihak:

  • Penguatan Regulasi: Perlu ada penguatan pembatasan pencalonan anggota keluarga petahana, terutama di daerah yang sama. Mahkamah Konstitusi telah membuka jalan melalui beberapa putusannya, dan perlu ada langkah tindak lanjut dari semua pihak.
  • Perbaikan Sistem Partai Politik: Partai politik harus memperketat seleksi internal dan memastikan bahwa proses rekrutmen calon kepala daerah dilakukan secara adil dan transparan.
  • Penguatan Pengawasan: KPU dan Bawaslu harus diberikan kewenangan yang memadai untuk mengusut penyalahgunaan kekuasaan dalam pencalonan kepala daerah. Netralitas ASN harus dijaga dan dilindungi.

Demokrasi adalah tentang pilihan, bukan pewarisan. Menolak politik dinasti adalah upaya untuk menjaga agar demokrasi tetap berpihak pada rakyat, bukan pada silsilah keluarga.