Penyerbuan Al-Aqsa: Israel Sita Pengeras Suara Masjid, Tuai Kecaman Internasional

Penyerbuan Al-Aqsa dan Penyitaan Pengeras Suara: Eskalasi Ketegangan di Yerusalem

Ketegangan di Yerusalem kembali meningkat menyusul insiden penyerbuan kompleks Masjid Al-Aqsa oleh pasukan militer Israel. Insiden yang terjadi akhir pekan lalu tersebut ditandai dengan penyitaan dua pengeras suara masjid oleh tentara Israel. Meskipun pihak militer Israel hingga saat ini belum memberikan pernyataan resmi terkait insiden tersebut, tindakan ini telah memicu kecaman luas dari berbagai pihak, baik di Palestina maupun internasional. Berdasarkan laporan dari Pusat Media Palestina dan sejumlah sumber lokal yang dihimpun oleh Middle East Monitor, penyerbuan tersebut terjadi di Ruang Salat Qibli, bagian vital dari kompleks Masjid Al-Aqsa. Kejadian ini menambah daftar panjang pelanggaran yang dilakukan Israel di situs suci umat Islam tersebut.

Penyerbuan ini terjadi di tengah meningkatnya pembatasan akses bagi warga Palestina, khususnya selama bulan Ramadan. Israel memberlakukan kebijakan yang membatasi warga Palestina dari Tepi Barat untuk memasuki Yerusalem dan menjalankan ibadah salat di Masjid Al-Aqsa. Kebijakan diskriminatif ini hanya mengizinkan perempuan Palestina berusia 40 tahun ke atas dengan kartu identitas Palestina untuk memasuki kota Yerusalem. Langkah-langkah represif tersebut semakin memperparah situasi yang sudah rawan konflik di kawasan tersebut. Lebih jauh lagi, aktivitas ekskavasi yang terus berlanjut dan percepatan proyek-proyek Yudaisasi yang dilakukan pemerintah Israel di Yerusalem Timur turut meningkatkan risiko terhadap kelestarian Masjid Al-Aqsa. Kekhawatiran akan semakin meningkatnya upaya pengambilalihan situs suci tersebut semakin menguat dengan munculnya proposal terbaru dari anggota Knesset (parlemen Israel), Amit Halevi, yang menyerukan pembagian masjid dan pengambilalihan lebih dari 70 persen area kompleks Masjid Al-Aqsa.

Masjid Al-Aqsa: Situs Suci Tiga Agama dan Simbol Identitas Nasional Palestina

Masjid Al-Aqsa, situs tersuci ketiga dalam Islam, terletak di Yerusalem Timur yang diduduki dan dianeksasi oleh Israel. Situs ini bukan hanya merupakan tempat ibadah bagi umat Islam, tetapi juga menjadi simbol kuat identitas nasional Palestina. Namun, kompleks suci ini juga merupakan tempat yang dianggap suci oleh agama Yahudi, yang menyebutnya Temple Mount. Meskipun berdasarkan konvensi lama, umat Yahudi diperbolehkan berkunjung, mereka tidak diizinkan berdoa di kompleks tersebut. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak ultranasionalis Yahudi, termasuk politisi sayap kanan Israel, yang secara terang-terangan melanggar aturan ini. Contohnya adalah tindakan Itamar Ben-Gvir, mantan Menteri Keamanan Nasional Israel (2023-2024), yang secara terbuka berdoa di kompleks Al-Aqsa. Situasi ini menunjukkan meningkatnya tekanan terhadap status quo yang telah lama berlaku, yang semakin mengkhawatirkan bagi warga Palestina.

Status Quo dan Masa Depan Al-Aqsa

Meskipun pemerintah Israel berulang kali menegaskan akan mempertahankan status quo di kompleks Masjid Al-Aqsa, tindakan-tindakan nyata di lapangan menunjukkan sebaliknya. Penyerbuan dan penyitaan pengeras suara, ditambah dengan pembatasan akses dan aktivitas Yudaisasi, menunjukkan niat Israel untuk mengubah status quo. Kekhawatiran warga Palestina mengenai masa depan Al-Aqsa yang semakin nyata telah mengubah situs suci ini menjadi titik rawan kekerasan yang berpotensi memicu konflik yang lebih besar. Dunia internasional perlu memberikan perhatian serius terhadap perkembangan ini dan mendesak Israel untuk menghentikan segala tindakan yang dapat mengancam perdamaian dan stabilitas kawasan, serta menghormati kesucian Masjid Al-Aqsa sebagai tempat ibadah bagi umat Muslim di seluruh dunia. Keengganan Israel untuk memberikan pernyataan resmi terkait insiden ini semakin menambah kecurigaan atas niat sebenarnya di balik tindakan mereka. Perkembangan selanjutnya terkait insiden ini patut untuk dipantau secara ketat.