Tolak Penggusuran, Pedagang Tanjung Aan Surati Presiden Terpilih Prabowo

Gelombang penolakan menggema di Pantai Tanjung Aan, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Ratusan pedagang yang menggantungkan hidupnya di kawasan wisata ini menentang rencana pengosongan lahan yang digagas oleh Injourney Tourism Development Corporation (ITDC).

Kekhawatiran akan kehilangan mata pencaharian menjadi pemicu utama perlawanan ini. Kartini, salah seorang pemilik warung yang telah lama beroperasi di Tanjung Aan, mengungkapkan trauma mendalam atas pengalaman penggusuran serupa di Pantai Kuta Mandalika. Ia menyaksikan bagaimana kehidupan masyarakat setempat menjadi lumpuh pasca-penataan kawasan yang dilakukan oleh ITDC.

"Apa yang terjadi di Kuta Mandalika sangat menjadi pelajaran bagi kami di Tanjung Aan," ujar Kartini. Ia mempertanyakan dampak positif pembangunan pariwisata yang digagas ITDC, yang menurutnya justru berdampak buruk bagi perekonomian lokal. Kartini menyoroti sepinya kunjungan wisatawan mancanegara ke Kuta Mandalika pasca-penataan, serta mangkraknya sejumlah investasi yang bernaung di bawah ITDC.

Kartini menegaskan bahwa masyarakat Tanjung Aan mampu mandiri dan sejahtera tanpa intervensi BUMN. Ia menampik anggapan bahwa keberadaan mereka ilegal, dengan menunjukkan bukti pembayaran pajak rutin setiap bulan. "Kami mampu menggaji karyawan di atas UMR yang ditetapkan pemerintah. Kami tidak butuh BUMN di sini, kami tidak butuh hotel berbintang di sini. Kami sudah sejahtera," tegasnya.

Sebagai bentuk protes dan harapan, Kartini menyampaikan surat terbuka kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto. Ia memohon agar pemerintah pusat mengevaluasi kinerja ITDC dan berpihak kepada masyarakat kecil. "Mohon Pak Prabowo, saya juga coblos bapak karena saya yakin akan berpihak kepada kami. Mohonlah pak," pintanya.

Pihak ITDC melalui General Manager The Mandalika, Wahyu Moerhadi Nugroho, membantah tudingan warga. Ia menjelaskan bahwa lahan di KEK Mandalika, termasuk Tanjung Aan, merupakan aset negara yang diserahkan kepada ITDC berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2008. Wahyu menegaskan bahwa kegiatan yang dilakukan di Tanjung Aan adalah pengosongan dan penataan lahan yang sah dimiliki oleh ITDC berdasarkan Sertifikat Hak Pengelolaan (HPL).

Wahyu berdalih bahwa penataan lahan dilakukan untuk pembangunan oleh investor sesuai dengan Masterplan KEK Mandalika dan peraturan perundang-undangan. Ia mengklaim bahwa pembangunan ini akan memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat sekitar. "Kami menegaskan bahwa kegiatan ini tidak dimaksudkan sebagai tindakan penggusuran paksa, melainkan sebagai bagian dari penataan kawasan agar sesuai dengan peruntukan dan perencanaan tata ruang yang telah ditetapkan," terangnya.

Namun, argumentasi ITDC ini tidak meredakan kekhawatiran dan penolakan warga Tanjung Aan. Mereka tetap bersikukuh mempertahankan mata pencaharian dan menuntut keadilan dari pemerintah.