Indonesia Hadapi Tantangan Krisis Pengungsi yang Semakin Kompleks
Indonesia, sebagai negara kepulauan yang strategis di Asia-Pasifik, telah lama menjadi titik transit bagi para pengungsi yang mencari suaka. Kedatangan ratusan ribu pengungsi Indocina pada tahun 1970-an menjadi penanda awal gelombang pengungsi yang mencari perlindungan di tanah air.
Saat ini, data UNHCR menunjukkan lebih dari 13.000 pengungsi berada di Indonesia, belum termasuk mereka yang memilih hidup mandiri di luar pantauan organisasi tersebut. Meskipun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, prinsip non-refoulement tetap menjadi landasan dalam menerima para pengungsi, sebuah prinsip hukum internasional yang melarang pengembalian paksa individu ke negara asal jika mereka terancam bahaya.
Kerangka hukum Indonesia mengenai penanganan pengungsi diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 125 Tahun 2016. Namun, implementasi peraturan ini menghadapi tantangan karena kurangnya kebijakan teknis yang lebih rinci, menyebabkan ketidakpastian bagi para pengungsi.
Dilema Indonesia dalam Menangani Pengungsi
Perpres No. 125 menjadi langkah maju dengan perubahan pendekatan dari keamanan menjadi penghormatan terhadap rezim pengungsi internasional. Namun, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian sebelumnya bahkan tidak mendefinisikan pencari suaka dan pengungsi, melainkan mengkategorikan mereka sebagai imigran ilegal. Indonesia menghadapi dilema karena posisinya sebagai negara transit, di mana pengungsi diharapkan untuk dipindahkan ke negara ketiga. Namun, pengurangan kuota penerimaan oleh negara-negara maju menyebabkan situasi pengungsian yang berkepanjangan atau protracted transit situation.
Situasi ini membebani Indonesia, meskipun UNHCR, IOM, dan LSM terkait memberikan bantuan keuangan, tuntutan untuk menyediakan akses pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja semakin menempatkan Indonesia pada posisi yang sulit.
Mencari Solusi Berkelanjutan
UNHCR menawarkan tiga solusi berkelanjutan untuk mengatasi situasi pengungsi yang berlarut-larut:
- Repatriasi Sukarela: Pengungsi kembali ke negara asal secara sukarela.
- Resettlement: Pemindahan pengungsi ke negara ketiga yang memberikan status hukum dan perlindungan permanen.
- Integrasi Lokal: Pemberian hak yang sama kepada pengungsi seperti warga negara, termasuk akses pekerjaan dan pendidikan.
Repatriasi sukarela sulit dilakukan karena konflik di negara asal pengungsi masih berlangsung. Resettlement juga semakin sulit karena kuota yang terus menurun. Integrasi lokal menjadi rumit karena Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi.
Integrasi De Facto dan Tantangan ke Depan
Saat ini, integrasi de facto telah terjadi di mana masyarakat lokal menerima kehadiran pengungsi. Namun, integrasi de jure, yang memberikan hak-hak penuh seperti pekerjaan dan kewarganegaraan, belum terwujud.
Sebagai negara yang tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi, Indonesia rentan terhadap pemotongan dana bantuan dan pembatasan kuota resettlement, yang dapat mengancam stabilitas keamanan nasional. Peningkatan jumlah pengungsi Rohingya pada tahun 2022 dan 2023 telah mengubah pandangan masyarakat terhadap pengungsi, dengan narasi kebencian yang menyebar di media sosial.
UNHCR Indonesia telah mengidentifikasi upaya sistematis untuk menyebarkan sentimen negatif terhadap pengungsi Rohingya melalui media sosial, yang berpotensi menyebabkan gesekan sosial. Tanpa kebijakan yang komprehensif, Indonesia akan terus menghadapi ketidakpastian dalam menangani pengungsi, terjebak di antara ketidakmampuan untuk mengusir dan menampung mereka secara memadai.