Dilema Ondel-Ondel: Antara Pelestarian Budaya dan Mata Pencaharian di Tengah Regulasi Jakarta

Kesenian ondel-ondel, ikon budaya Betawi yang telah lama menghiasi jalanan Jakarta, kini menghadapi persimpangan jalan. Di satu sisi, pandemi Covid-19 telah memukul keras para seniman dan pengrajin ondel-ondel, mengeringkan pundi-pundi pendapatan mereka. Di sisi lain, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah merancang regulasi yang berpotensi membatasi ruang gerak ondel-ondel sebagai sarana mencari nafkah.

Pandemi telah memaksa banyak sanggar seni Betawi gulung tikar, termasuk mereka yang menggantungkan hidup pada pertunjukan dan pembuatan ondel-ondel. Mulyadi, Ketua Sanggar Irama Betawi, menuturkan bahwa sebelum pagebluk melanda, permintaan pentas dan pesanan ondel-ondel cukup stabil. Namun, kini, seiring lesunya perekonomian dan pembatasan kegiatan publik, harapan untuk bertahan hidup semakin menipis. Jumlah sanggar yang aktif di wilayahnya pun menyusut drastis, dari yang semula banyak menjadi hanya tiga sanggar saja.

Keresahan para seniman ondel-ondel semakin bertambah dengan adanya rencana Pemprov DKI Jakarta untuk melarang ondel-ondel digunakan sebagai alat mengamen. Wacana ini muncul seiring penyusunan Peraturan Daerah (Perda) tentang Lembaga Adat Betawi. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno, menjelaskan bahwa Perda tersebut bertujuan untuk menempatkan ondel-ondel pada tempat yang lebih pantas, bukan sebagai hiburan keliling yang kehilangan nilai sejarah dan budayanya.

Mulyadi memahami maksud baik pemerintah, namun ia juga mempertanyakan solusi yang akan diberikan kepada para pengamen ondel-ondel jika larangan tersebut diberlakukan. Ia khawatir, tanpa adanya alternatif mata pencaharian, para pengamen justru akan menambah jumlah pengangguran di Jakarta. Mulyadi juga menekankan bahwa para pengamen ondel-ondel bukanlah preman, melainkan individu-individu yang berusaha melestarikan budaya Betawi dengan cara sederhana dan mudah diakses oleh masyarakat luas.

Kekhawatiran terbesar Mulyadi adalah jika larangan tersebut tidak diimbangi dengan upaya pelestarian budaya Betawi yang lebih komprehensif. Ia takut, ondel-ondel sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas Jakarta akan semakin terpinggirkan dan bahkan punah. Oleh karena itu, ia berharap agar pemerintah dapat mempertimbangkan nasib para pelaku seni ondel-ondel dalam setiap kebijakan yang diambil, sehingga warisan budaya ini dapat terus hidup dan berkembang di tengah modernitas Jakarta.

Regulasi yang tengah disusun pemerintah ini diharapkan dapat menjadi titik temu antara pelestarian budaya dan keberlangsungan hidup para seniman. Diperlukan dialog yang konstruktif antara pemerintah, seniman, dan masyarakat untuk mencari solusi terbaik agar ondel-ondel tetap menjadi bagian integral dari wajah Jakarta, tanpa mengorbankan mata pencaharian mereka yang menggantungkan hidup padanya.

Pelestarian budaya Betawi, khususnya ondel-ondel, membutuhkan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Pemerintah perlu memberikan dukungan konkret kepada para seniman dan pengrajin, seperti pelatihan, bantuan modal, dan promosi. Selain itu, perlu juga melibatkan masyarakat dalam upaya pelestarian ini, misalnya melalui festival, workshop, dan edukasi tentang sejarah dan makna ondel-ondel.

Dengan sinergi antara pemerintah, seniman, dan masyarakat, ondel-ondel dapat terus hidup dan berkembang sebagai simbol kebanggaan Jakarta. Warisan budaya ini tidak hanya menjadi tontonan yang menghibur, tetapi juga menjadi pengingat akan identitas dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para pendahulu.