Korban Dugaan Kekerasan Oknum Polisi di Sulawesi Selatan Mengaku Mendapat Tekanan
Yusuf Saputra, Pemuda Sulsel yang Diduga Menjadi Korban Kekerasan Oknum Polisi, Mengaku Dihantui Intimidasi
Yusuf Saputra (20), seorang pemuda asal Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, yang mengaku menjadi korban penganiayaan, pemerasan, dan pelecehan oleh enam anggota Satuan Sabhara Polrestabes Makassar, mengungkapkan bahwa dirinya terus menerus menerima intimidasi dari pihak keluarga para pelaku. Sejak laporan kasus ini diajukan, Yusuf menuturkan bahwa keluarganya kerap dikunjungi oleh individu-individu yang mengklaim sebagai perwakilan keluarga oknum polisi tersebut, termasuk beberapa yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan dirinya.
"Hampir setiap waktu ada saja orang yang datang ke rumah mertua dan nenek saya, mencari saya. Mereka ini sebagian masih keluarga, namun datang mewakili keluarga para pelaku," ujar Yusuf pada hari Sabtu (21/6/2025).
Merasa Tertekan dan Mendapatkan Ancaman
Yusuf mengaku merasa sangat tertekan dan memilih untuk menghindari pertemuan dengan siapapun yang berasal dari pihak pelaku. Menurutnya, kedatangan mereka tidak bertujuan untuk memberikan dukungan moral, melainkan untuk membujuknya agar bersedia menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan atau damai.
"Saya merasa sangat tertekan dengan situasi ini, itulah mengapa saya selalu menghindar untuk bertemu dengan mereka," ungkapnya.
Bahkan, dalam beberapa hari terakhir, Yusuf mengatakan bahwa seorang oknum polisi berinisial A mendatangi kediamannya dan menyampaikan pesan yang ia interpretasikan sebagai sebuah ancaman terselubung.
"Dia menyampaikan bahwa ada pesan dari keluarga pelaku. Jika saya tidak bersedia berdamai, itu tidak masalah, tetapi mereka meminta saya untuk berhati-hati dan menjaga diri. Ini jelas merupakan bentuk intimidasi," tegas Yusuf.
Walaupun keenam oknum polisi tersebut telah dinonaktifkan dari jabatan mereka dan ditahan, hingga saat ini mereka belum menjalani sidang etik. Pihak Seksi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polrestabes Makassar menyatakan bahwa berkas perkara masih belum lengkap.
"Saat ini, kami masih dalam tahap penyelesaian pemeriksaan. Sudah ada lima orang saksi yang telah diperiksa," jelas Kepala Seksi Propam Polrestabes Makassar, Komisaris Polisi Ramli.
Kilas Balik Kasus Dugaan Penyiksaan dan Pemerasan
Kasus ini bermula pada hari Selasa (27/5/2025) ketika Yusuf sedang menikmati suasana pasar malam di kampung halamannya, Dusun Parang Boddong, Desa Boddia, Kecamatan Galesong. Sekitar pukul 22.00 WITA, enam orang pria berbadan tegap yang kemudian diketahui sebagai anggota kepolisian, tiba di lokasi dengan membawa senjata. Mereka langsung menodongkan senapan ke kepala Yusuf dan mulai melakukan pemukulan.
"Tiba-tiba datang sekitar enam orang (polisi), lalu menodongkan senjata ke kepala saya dan langsung memukuli saya," tutur Yusuf.
Yusuf kemudian diseret ke dalam mobil dan dibawa ke sebuah tempat terpencil. Di sana, ia diikat, dianiaya, dipaksa untuk melepaskan seluruh pakaiannya, hingga mengalami pelecehan fisik dan verbal.
"Di tempat yang sepi itulah saya diikat, dianiaya, dan disuruh membuka semua pakaian, mulai dari baju, celana, hingga celana dalam," lanjutnya.
Tidak hanya itu, Yusuf juga dipaksa untuk mengakui bahwa dirinya memiliki narkotika jenis tembakau sintetis yang sebenarnya dibawa oleh salah seorang anggota polisi, Bripda A. Namun, Yusuf menolak untuk mengakuinya karena ia sama sekali tidak mengetahui apa-apa mengenai barang haram tersebut.
Setelah ditahan selama kurang lebih tujuh jam, pihak kepolisian akhirnya menghubungi keluarga Yusuf dan meminta uang tebusan untuk pembebasannya.
"Awalnya mereka meminta uang sebesar Rp 15 juta, tetapi keluarga saya tidak memiliki uang sebanyak itu. Kemudian, mereka menurunkan permintaannya menjadi Rp 5 juta, tetapi tetap ditolak. Akhirnya, saya baru dibebaskan setelah keluarga membayar Rp 1 juta," ungkap Yusuf.
Pihak keluarga kemudian melaporkan kejadian ini ke Polrestabes Makassar dan Polres Takalar, yang kemudian berujung pada penonaktifan dan penahanan keenam oknum polisi tersebut. Namun, proses penegakan hukum dan etik masih berjalan lambat.