Kadin: Eskalasi Konflik Iran-Israel Ancam Stabilitas Ekonomi Global dan Percepat Multipolarisasi
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Novyan Bakrie, menyampaikan kekhawatiran mendalam terkait dampak eskalasi konflik antara Iran dan Israel terhadap perekonomian global. Menurutnya, tensi geopolitik yang meningkat ini menjadi faktor signifikan yang membayangi prospek pertumbuhan ekonomi dunia.
Pernyataan tersebut disampaikan Anindya usai menghadiri Saint Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 di Rusia, sebuah forum penting yang juga dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dan Presiden Federasi Rusia, Vladimir Putin. Dalam forum tersebut, isu konflik Iran-Israel mendominasi diskusi, mencerminkan betapa besar perhatian dunia terhadap potensi dampaknya.
Anindya menyoroti bahwa konflik ini memperjelas polarisasi yang semakin kuat antara kekuatan Barat dan Timur. Situasi ini mengindikasikan pergeseran fundamental dalam tatanan global menuju struktur multipolar, di mana kekuatan tidak lagi terpusat pada satu atau dua negara adidaya.
"Kelihatan benar-benar polarisasi antara Barat dan Timur. Bagaimana Iran dan Israel bisa memengaruhi bukan saja geopolitik, tapi juga pengentalan multipolar," Ujar Anindya.
Lebih lanjut, Anindya menyinggung perkembangan pesat blok BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) sebagai kekuatan ekonomi baru yang semakin berpengaruh. Ketidakhadiran Amerika Serikat dan China dalam forum-forum multilateral tertentu, seperti APEC, juga menjadi sinyal pergeseran dinamika kekuatan global.
"Sekarang BRICS berjalan dengan waktu, jumlahnya semakin besar. Setengah dari dunia hidup di negara-negara BRICS yang kini sudah menerima 9 negara baru," kata Anindya.
Sembilan negara yang dimaksud antara lain:
- Belarus
- Bolivia
- Kuba
- Indonesia
- Kazakhstan
- Malaysia
- Thailand
- Uganda
- Uzbekistan
Dalam forum SPIEF, Presiden Prabowo menegaskan posisi Indonesia yang memilih jalan tengah, tidak sepenuhnya mengikuti model kapitalistik Barat maupun model sosialis China. Indonesia, menurut Prabowo, memilih pendekatan hybrid yang bertujuan untuk kesejahteraan sebanyak mungkin orang.
Anindya juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dalam hubungan ekonomi internasional, termasuk dalam berinteraksi dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat. Menurutnya, Indonesia tidak bisa sepenuhnya tunduk pada tekanan eksternal, mengingat Indonesia memiliki alternatif dan kemitraan strategis, seperti Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).
Di akhir pernyataannya, Anindya menegaskan posisi strategis Indonesia di panggung global. Indonesia memiliki tiga kekuatan utama yang memberikan pengaruh signifikan dalam forum-forum internasional: sebagai satu-satunya negara Asia Tenggara yang menjadi anggota G20, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, dan sebagai mitra penting di kawasan Indo-Pasifik.
"Itu yang menarik. Indonesia memiliki tiga suara penting, dan itu memberi kita posisi strategis dalam forum-forum internasional," pungkasnya.