Rencana Rumah Subsidi 18 Meter di Perkotaan Tuai Keraguan Pengembang

Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) tengah mempertimbangkan opsi rumah subsidi dengan luas minimal 18 meter persegi di wilayah perkotaan. Gagasan ini, yang bertujuan untuk menyediakan hunian terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di tengah keterbatasan lahan dan tingginya harga properti, menuai berbagai tanggapan dari kalangan pengembang.

Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI), Junaidi Abdilah, mengungkapkan keraguannya terkait realisasi rencana tersebut. Ia menyoroti mahalnya harga tanah di perkotaan sebagai kendala utama. Menurutnya, sulit untuk mewujudkan rumah subsidi dengan harga terjangkau di lokasi strategis perkotaan.

Beberapa waktu lalu, Lippo Group sempat memperkenalkan desain hunian dengan luas 14 meter persegi dan 23,4 meter persegi. Desain ini kemudian dikaitkan dengan wacana pemerintah mengenai rumah subsidi minimal 18 meter persegi. Namun, Junaidi mempertanyakan apakah proyek rumah mungil ini akan masuk kategori subsidi atau komersial. Ia menegaskan bahwa rumah subsidi dengan luas terbatas seperti itu belum pernah ada di kota-kota besar.

"Kalau mock up di dalam kota besar, itu belum pernah ada rumah subsidi walaupun tipe 18 luasan 25 meter itu belum pernah terjadi untuk rumah subsidi di perkotaan," ujarnya di Kantor DPP APERSI.

Ia menambahkan, desain rumah yang dibuat Lippo Group belum tentu diperuntukkan bagi rumah subsidi. Pasalnya, pengembang tersebut belum pernah terlibat dalam pembangunan rumah subsidi. Junaidi berpendapat, Lippo Group lebih fokus pada pengembangan perumahan komersial.

Menanggapi masalah hunian di perkotaan, Junaidi menyarankan pembangunan hunian vertikal sebagai alternatif. Meskipun harga hunian vertikal cenderung lebih mahal, ia mengusulkan agar pemerintah memberikan subsidi lahan atau menyiapkan lahan, sehingga pengembang hanya perlu membangun konstruksi bangunan. Dengan demikian, harga hunian dapat ditekan.

"(Hunian) vertikal harganya mahal tapi bisa solusinya insentif dari pemerintah. Insentifnya apa? Subsidi lahannya bukan subsidi lahan uangnya untuk pengembang tapi lahan itu harus disiapkan oleh pemerintah," katanya.

Junaidi menghargai niat baik pemerintah untuk menyediakan opsi rumah subsidi di perkotaan, terutama bagi masyarakat lajang dan keluarga baru. Namun, ia menekankan bahwa implementasi rencana tersebut harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Ia juga mengapresiasi keterbukaan Kementerian PKP dalam menyusun kebijakan, sehingga memungkinkan adanya diskusi publik.

"Jika ini berjalan harus menyesuaikan aturan dan ketentuan yang sudah ada ya, kalau memang aturannya memperbolehkan ya kenapa tidak? Tapi kalau aturannya tidak men-support ya harusnya dievaluasi. Tapi kita ambil niat baiknya pemerintah kita adalah memperluas cakupan penyerapan perumahan di wilayah perkotaan," ungkapnya.

Sekretaris Jenderal APERSI, Deddy Indrasetiawan, menambahkan bahwa pihaknya siap membangun rumah subsidi ukuran 18 meter persegi di perkotaan jika ada permintaan. Namun, ia berpendapat bahwa rumah dengan ukuran tersebut lebih cocok untuk rumah komersial karena mahalnya harga tanah.

Deddy menjelaskan bahwa rumah dengan ukuran 18 meter persegi dan luas tanah 25 meter persegi lebih ideal dibangun di kota penyangga atau metropolitan dengan populasi sekitar satu juta orang. Jika dibangun di kota metropolitan, hunian tersebut lebih cocok untuk menyasar masyarakat berpenghasilan tanggung (MBT) daripada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

"Jadi sebenarnya yang 18/25 atau 18/30 ini sebenarnya masuk nih, kalau bicara di tengah kota masuknya di MBT, masyarakat berpenghasilan tanggung," tuturnya.

Deddy mengusulkan agar lahan milik pemerintah digunakan untuk membangun rumah subsidi. Ia menyarankan penggunaan sistem hak pakai yang berlaku hingga 60-90 tahun. Sistem ini mirip dengan hunian vertikal, di mana lahan tetap milik pemerintah, tetapi masyarakat memiliki hak untuk menghuni bangunan tersebut.

"Nah itu bisa jadi satu terobosan buat kalau anak-anak milenial atau masyarakat memang ingin punya rumah di tengah kota," ungkapnya.

Sebagai informasi, Kementerian PKP berencana mengubah batasan luas minimal rumah subsidi. Hal ini tercantum dalam draf Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025 tentang Batasan Luas Lahan, Luas Lantai, dan Batasan Harga Jual Rumah dalam Pelaksanaan Kredit/Pembiayaan Perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan.

Dalam aturan tersebut, luas tanah minimal untuk rumah tapak menjadi 25 meter persegi dan maksimal 200 meter persegi. Sementara itu, luas bangunan minimal diubah menjadi 18 meter persegi dan maksimal 36 meter persegi.

Aturan ini berbeda dengan Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023, yang menetapkan luas bangunan rumah subsidi minimal 21 meter persegi dan maksimal 36 meter persegi, serta luas tanah minimal 60 meter persegi dan maksimal 200 meter persegi.

Rencananya, rumah subsidi dengan luas minimal 18 meter persegi akan diterapkan di wilayah perkotaan. Sementara itu, aturan lama tetap berlaku untuk wilayah perdesaan. Rumah subsidi dengan luas 18 meter persegi ditujukan untuk individu lajang atau pasangan suami istri dengan satu anak.