Navigasi Identitas: Pengalaman Muslim Indonesia di Lingkungan Kerja Jepang
Navigasi Identitas: Pengalaman Muslim Indonesia di Lingkungan Kerja Jepang
Sebuah riset terbaru yang dilakukan oleh Firman Budianto, peneliti Ahli Muda di Pusat Riset Kewilayahan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), telah mengungkap dinamika menarik mengenai bagaimana para profesional Muslim Indonesia menjalani kehidupan beragama di lingkungan kerja Jepang. Studi yang berjudul "Promoting Diversity, Introducing Islam: Muslim Indonesian Professionals In Contemporary Corporate Japan" ini meneliti strategi yang diadopsi oleh para pekerja Muslim Indonesia dalam menampilkan atau menyembunyikan identitas keagamaannya di tempat kerja.
Hasil penelitian menunjukkan adanya dua pendekatan yang kontras. Sebagian besar responden menyatakan telah secara terbuka mengungkapkan identitas keagamaannya sejak proses rekrutmen. Salah satu contohnya adalah Bunga, seorang profesional di perusahaan telekomunikasi Jepang, yang secara gamblang menyampaikan kekhawatirannya terkait praktik keagamaan kepada panitia perekrutan. Tak disangka, kejujurannya tersebut justru disambut positif oleh perusahaan. Lebih lanjut, perusahaan tersebut menunjukkan komitmennya terhadap keberagaman dengan menyediakan ruang ibadah khusus dan bahkan manajernya secara terbuka memperbolehkan Bunga mengenakan jilbab. Pengalaman Bunga menggambarkan contoh positif penerimaan keberagaman di lingkungan korporasi Jepang.
Namun, penelitian juga mengungkap sisi lain dari pengalaman tersebut. Beberapa responden lainnya memilih untuk merahasiakan identitas keagamaannya di tempat kerja. Mereka berpendapat bahwa agama merupakan ranah pribadi dan tidak perlu diumbar di lingkungan profesional, sejalan dengan pandangan umum masyarakat Jepang. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan strategi dalam menavigasi identitas keagamaan di tempat kerja, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor individual dan budaya.
Firman Budianto menyoroti bahwa baik keputusan untuk mengungkapkan maupun menyembunyikan identitas keagamaan merupakan bentuk negosiasi identitas. "Istilah yang saya gunakan adalah cara menegosiasikan identitas keagamaan mereka di lingkungan kerja," ujarnya dalam acara Japanscope bertajuk "The Dynamic of Religions in Japan" yang diselenggarakan oleh Japan Foundation Jakarta. Negosiasi ini melibatkan pertimbangan yang kompleks, termasuk budaya perusahaan, norma sosial di Jepang, dan komitmen pribadi terhadap keyakinan agama.
Studi kasus lain, Eka, seorang spesialis penjualan internasional di Tokyo, menggambarkan bagaimana upaya proaktif dalam mengkomunikasikan kebutuhan keagamaan dapat menghasilkan hasil positif. Setelah menyampaikan kebutuhannya akan ruang sholat kepada atasannya, perusahaan menyediakan ruang khusus untuk ibadah. Kisah Eka menunjukkan pentingnya komunikasi terbuka dan peran pimpinan dalam menciptakan lingkungan kerja yang inklusif. Meskipun penyediaan fasilitas ibadah tetap bergantung pada kebijakan perusahaan dan atasan langsung, komunikasi yang efektif merupakan kunci untuk memenuhi kebutuhan keagamaan para pekerja Muslim.
Kesimpulannya, riset ini menggarisbawahi keragaman pengalaman yang dihadapi oleh para profesional Muslim Indonesia di Jepang dalam mengekspresikan identitas keagamaannya. Tantangan yang dihadapi, mulai dari partisipasi dalam acara sosial seperti nomikai hingga akses terhadap fasilitas ibadah, menunjukkan pentingnya upaya berkelanjutan untuk mempromosikan keberagaman dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan ramah bagi seluruh karyawan, termasuk mereka yang memiliki latar belakang keagamaan yang berbeda.
Nomikai: Tradisi minum-minum bersama setelah bekerja di Jepang yang seringkali dianggap sebagai bagian integral dari budaya perusahaan.