Misteri Pica pada Pasien Gagal Ginjal: Konsumsi Busa Kursi saat Dialisis Terungkap
Seorang wanita berusia 31 tahun di Inggris Raya, dengan riwayat diabetes tipe 1, kesulitan belajar, dan penyakit ginjal kronis stadium akhir, menjalani dialisis rutin sebagai penopang hidupnya. Prosedur penting ini, yang dilakukan tiga kali seminggu, berfungsi menggantikan fungsi ginjalnya yang rusak, menyaring limbah dan kelebihan cairan dari darahnya.
Namun, di balik rutinitas medis yang ketat, tersembunyi sebuah misteri yang membingungkan para dokter. Wanita ini terus-menerus mengalami penumpukan cairan berlebihan di antara sesi dialisis, sebuah kondisi yang lazim pada pasien gagal ginjal, tetapi dalam kasus ini, terjadi meskipun berbagai upaya penanganan telah dilakukan. Keadaan ini memaksanya untuk memulai dan mengakhiri setiap sesi dialisis dengan kelebihan berat badan akibat penumpukan cairan, dan terkadang, ia juga mengalami sembelit.
Kejanggalan mulai terkuak setelah seorang perawat yang bertugas membersihkan kursi dialisis wanita itu menyadari adanya sesuatu yang aneh. Kursi tersebut terasa lebih ringan dari biasanya. Pemeriksaan lebih lanjut mengungkapkan bahwa sejumlah besar busa poliuretan berdensitas rendah telah hilang dari kursi tersebut.
Investigasi medis mendalam membawa tim dokter pada diagnosis yang mengejutkan: Pica. Gangguan makan ini mendorong penderitanya untuk mengonsumsi benda-benda non-makanan secara kompulsif. Dalam kasus wanita ini, ia secara impulsif memakan busa dari kursi dialisis.
"Kami sangat terkejut menemukan bahwa pasien kami telah memakan busa itu dan telah meningkatkan asupan cairannya dengan asumsi bahwa busa itu akan menyerap kelebihan air di lambung, dan dengan demikian mencegah penyerapan sistemik," ungkap para dokter dalam laporan kasus yang diterbitkan di BMJ Case Reports.
Pasien tersebut berasumsi bahwa busa itu akan bertindak seperti spons, menyerap kelebihan cairan yang tertahan di tubuhnya. Namun, keyakinan ini tidak berdasar dan justru membahayakan kesehatannya.
Pica sendiri merupakan kondisi kompleks yang seringkali dikaitkan dengan kekurangan nutrisi, seperti zat besi atau zinc. Teori lain menyebutkan bahwa penderita pica mungkin mencari sensasi tertentu dari zat non-makanan, seperti rasa, tekstur, atau aroma yang unik. Kondisi ini juga dapat dikaitkan dengan kehamilan, anemia sel sabit, gangguan kesehatan mental, atau efek samping pengobatan tertentu.
Dalam kasus wanita ini, serangkaian tes medis dilakukan untuk mengesampingkan kemungkinan kekurangan nutrisi. Selain itu, tidak ditemukan adanya pemicu psikososial yang jelas terkait dengan perilakunya, dan ia tidak memiliki riwayat pica sebelumnya. Para dokter menduga bahwa kesulitan belajarnya mungkin menjadi faktor yang berkontribusi terhadap kondisi tersebut.
Setelah diagnosis ditegakkan, pasien diberikan edukasi mengenai konsekuensi berbahaya dari mengonsumsi busa. Ia juga menerima konseling rutin dari ahli gizi yang berspesialisasi dalam membantu pasien dengan disfungsi ginjal. Selain itu, keluarga pasien juga dilibatkan secara aktif dalam proses perawatan.
Terapi perilaku seringkali menjadi pilihan pengobatan utama untuk pica, tetapi laporan kasus ini tidak menjelaskan apakah opsi ini dieksplorasi lebih lanjut. Pasien juga diberikan obat pencahar untuk membantu mengeluarkan busa yang telah ditelannya, dan untungnya, tidak terjadi komplikasi serius.
Pada saat laporan kasus ini dipublikasikan pada tahun 2010, pasien masih menjalani dialisis tiga kali seminggu. Para dokter yang menangani kasus ini melakukan penelusuran literatur medis untuk mencari kasus serupa pasien penyakit ginjal yang mengonsumsi busa poliuretan, tetapi tidak menemukan satupun. Meskipun demikian, mereka menemukan beberapa kasus individu tanpa penyakit ginjal yang mengonsumsi bahan tersebut.
"Kasus ini menyoroti fenomena yang diketahui, tetapi kurang terdiagnosis pada pasien ginjal, yang dikenal sebagai pica," tulis para dokter.
"Meskipun konsumsi es, aspirin, tanah liat, dan soda kue telah dilaporkan pada pasien hemodialisis, kasus ini unik karena pasien terpaksa memakan busa dari kursi dialisisnya," pungkas mereka.
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi para profesional medis untuk mewaspadai kemungkinan terjadinya pica pada pasien dengan kondisi medis kompleks, terutama mereka yang menjalani perawatan jangka panjang seperti dialisis. Pemahaman yang lebih baik tentang pica dan faktor-faktor yang berkontribusi terhadapnya dapat membantu dalam diagnosis dini dan penanganan yang tepat, sehingga dapat mencegah komplikasi serius dan meningkatkan kualitas hidup pasien.