Gugatan Batasan Masa Jabatan Ketum Partai Politik: Partai Golkar Tetap Optimistis

Gugatan Batasan Masa Jabatan Ketum Partai Politik: Partai Golkar Tetap Optimistis

Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini tengah memproses sebuah gugatan yang diajukan oleh Edward Thomas Lamury Hadjon, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Udayana. Gugatan tersebut mempersoalkan Undang-Undang Partai Politik, khususnya terkait dengan masa jabatan ketua umum partai politik. Hadjon berargumen bahwa ketiadaan batasan masa jabatan tersebut berpotensi menyebabkan sentralisasi kekuasaan, munculnya otoritarianisme, dan bahkan dinasti politik dalam tubuh partai. Gugatan ini terdaftar di MK dengan nomor perkara 22/PUU-XXIII/2025, tertanggal 10 Maret 2025.

Hadjon mencontohkan sejumlah ketua umum partai politik yang telah menjabat selama bertahun-tahun, antara lain:

  • Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri (1999-2024 atau 25 tahun)
  • Ketua Umum NasDem Surya Paloh (2013-2029 atau 17 tahun)
  • Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (2004-2029 atau 25 tahun)
  • Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto (2014-2025 atau 11 tahun)
  • Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (Ketua Umum Demokrat 2013-2020 atau 7 tahun dan Ketua Majelis Tinggi sejak 2020)
  • Yusril Ihza Mahendra (Menjabat Ketum PBB sejak 1998-2005 dan 2015-2024 atau 17 tahun)
  • Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (2015-2029 atau 14 tahun).

Argumentasi Hadjon menekankan pentingnya pembatasan masa jabatan untuk menjaga kesehatan demokrasi dan mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan. Ia berpendapat bahwa partai politik, sebagai pilar demokrasi, perlu memiliki mekanisme regenerasi kepemimpinan yang efektif dan transparan.

Menanggapi gugatan tersebut, Partai Golkar, yang dikenal dengan pergantian ketua umumnya yang terbilang sering, menyatakan bahwa mereka tidak terpengaruh. Sekretaris Jenderal Partai Golkar, M. Sarmuji, menjelaskan bahwa pergantian ketua umum di internal partai selalu dilakukan secara demokratis dan sesuai dengan mekanisme partai. Ia menegaskan bahwa proses pergantian kepemimpinan di Golkar telah berjalan secara ajeg dan terbuka.

Sarmuji juga mempertanyakan substansi gugatan, khususnya mengenai status ketua umum partai sebagai jabatan publik yang dapat diatur masa jabatannya melalui undang-undang. Menurutnya, ini menjadi poin penting yang akan menjadi perdebatan dalam proses persidangan di MK. Ia menambahkan bahwa selama ini Golkar senantiasa menjunjung tinggi prinsip demokrasi internal dan kepemimpinan yang satu periode.

Gugatan ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang dinamika kepemimpinan partai politik di Indonesia dan implikasinya terhadap kesehatan sistem demokrasi. MK akan berperan penting dalam memberikan putusan yang dapat memberikan kepastian hukum dan sekaligus menjaga keseimbangan antara stabilitas partai politik dan prinsip-prinsip demokrasi yang sehat.