Efisiensi Anggaran: Dampak Tak Terduga pada Kesejahteraan dan Kinerja ASN
Efisiensi Anggaran: Dampak Tak Terduga pada Kesejahteraan dan Kinerja ASN
Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah yang ditargetkan mencapai Rp 306 triliun, sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, menimbulkan dampak yang lebih luas daripada sekadar penghematan biaya. Di balik target pengurangan belanja operasional, perjalanan dinas, dan honorarium, terungkap permasalahan struktural yang berpotensi menghambat kinerja pemerintahan dan menimbulkan ketidakadilan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Salah satu dampak yang signifikan adalah penurunan pendapatan bagi ASN, khususnya mereka yang berada di golongan menengah-bawah. Pembatasan perjalanan dinas dan honorarium, yang selama ini menjadi sumber pendapatan tambahan bagi banyak ASN, menyebabkan penurunan pendapatan yang signifikan. Kondisi ini diperparah dengan pembatasan fasilitas kerja seperti alat tulis kantor, komputer, dan transportasi. Hal ini terungkap dari laporan penurunan pendapatan di sektor perhotelan yang dikaitkan dengan kebijakan efisiensi anggaran (Detiktravel, 5/3).
Lebih jauh lagi, efisiensi anggaran berpotensi mengganggu kinerja sejumlah lembaga negara. Layanan publik penting seperti perlindungan saksi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), seleksi calon hakim agung oleh Komisi Yudisial, pengaduan HAM oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan layanan pengaduan publik oleh Ombudsman RI, berpotensi terganggu akibat pembatasan anggaran. Ini menimbulkan kekhawatiran akan penurunan kualitas pelayanan publik yang pada akhirnya merugikan masyarakat.
Permasalahan ini berakar pada ketidakseimbangan antara beban kerja dan kesejahteraan ASN. Gaji pokok ASN, terutama bagi mereka yang baru lulus (fresh graduate), relatif rendah dibandingkan dengan Upah Minimum Kota (UMK) di beberapa daerah. Misalnya, gaji PNS sarjana dengan masa kerja 0 tahun hanya Rp 2,7 juta, sementara UMK tertinggi di Kota Bekasi mencapai Rp 5,3 juta. Kondisi ini diperburuk oleh disparitas tunjangan kinerja antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, yang menyebabkan munculnya istilah kementerian/pemda “sultan” dan “jelata”.
Data Badan Kepegawaian Negara (BKN) Juli 2024 menunjukkan bahwa sekitar 3,6 juta ASN golongan menengah-bawah (di luar jabatan pimpinan tinggi) bergantung pada penghasilan tambahan dari perjalanan dinas dan honorarium sebagai penopang ekonomi. Mereka yang bertugas sebagai dosen, guru, tenaga medis, dan berbagai profesi lain dalam jabatan non-manajerial, terpaksa mengandalkan pendapatan tambahan ini untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Terungkap pula masalah inefisiensi anggaran yang telah berlangsung lama. Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan Rp 141 triliun belanja daerah yang tidak efektif dan efisien pada 2023, sementara Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN RB) mencatat potensi inefisiensi dan inefektivitas pengeluaran APBN/APBD sebesar Rp 392 triliun pada 2019. Peningkatan anggaran perjalanan dinas dari Rp 39 triliun pada 2022 menjadi Rp 49 triliun pada 2023, dan anggaran honorarium dari Rp 1,4 triliun menjadi Rp 1,5 triliun pada periode yang sama, menunjukkan betapa besarnya potensi pemborosan anggaran yang perlu ditangani.
Oleh karena itu, kebijakan efisiensi anggaran perlu diimbangi dengan perbaikan kesejahteraan ASN secara terstruktur dan bertahap. Perbaikan struktur penggajian, sistem insentif, tunjangan dan fasilitas, serta pengawasan kinerja yang ketat, menjadi hal krusial untuk diimplementasikan dengan mengedepankan prinsip keadilan, kelayakan, dan daya saing. Mengabaikan kesejahteraan ASN akan berdampak negatif pada reformasi birokrasi dan kinerja pelayanan publik secara keseluruhan. Pembenahan ini memerlukan pendekatan holistik yang mempertimbangkan aspek kesejahteraan ASN dan efisiensi anggaran secara berimbang.