Hibisc Fantasy Puncak: Investigasi Penerbitan Izin dan Pelanggaran Tata Ruang

Hibisc Fantasy Puncak: Investigasi Penerbitan Izin dan Pelanggaran Tata Ruang

Pemerintah Kabupaten Bogor tengah menjadi sorotan publik menyusul pembongkaran objek wisata Hibisc Fantasy Puncak oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Kasus ini mengungkap serangkaian proses penerbitan izin yang berujung pada pelanggaran tata ruang yang signifikan. Kronologi lengkapnya, sebagaimana diuraikan oleh pihak Pemkab Bogor, memulai dari pengajuan izin oleh PT Jaswita, bekerjasama dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) selaku pemilik lahan di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua.

Proses perizinan dimulai pada Desember 2022 dengan pengajuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) ke Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kabupaten Bogor. Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kemudian diterbitkan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bogor pada November 2023. Permohonan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) diajukan melalui Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (DPKPP) Kabupaten Bogor dan disetujui oleh DPMPTSP Kabupaten Bogor pada Januari 2024. Kepala DPMPTSP Kabupaten Bogor, Irwan Purnawan, menekankan bahwa penerbitan PBG dilakukan setelah dipastikan terpenuhinya seluruh persyaratan teknis dari berbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Pemkab Bogor.

Namun, investigasi lebih lanjut mengungkap ketidaksesuaian antara izin yang diterbitkan dengan kondisi di lapangan. Kepala DPKPP Kabupaten Bogor, Teuku Mulya, menjelaskan bahwa PBG yang diterbitkan hanya mencakup bangunan seluas 4.138 meter persegi, sementara luas bangunan Hibisc Fantasy Puncak yang berdiri mencapai 21.000 meter persegi. Hal ini menunjukkan adanya pelanggaran luas lahan pembangunan yang signifikan, mencapai 16.900 meter persegi. Teuku Mulya menambahkan bahwa PT Jaswita telah beberapa kali menerima surat teguran dari DPKPP, bahkan hingga penyegelan bangunan pada Agustus dan Desember 2024, namun tetap melanjutkan pembangunan tanpa mengindahkan peringatan tersebut.

Lebih lanjut, PBG yang diterbitkan oleh Pemkab Bogor mewajibkan pembangunan yang ramah lingkungan, termasuk penyediaan resapan air, sumur biopori, dan sumur resapan. Namun, kepatuhan terhadap ketentuan ini tidak terpenuhi oleh PT Jaswita. Pembongkaran yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat, menurut Sekretaris Daerah Kabupaten Bogor, Ajat Rochmat Jatnika, sah secara hukum, mengingat PT Jaswita merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Provinsi Jawa Barat, dan Gubernur sebagai Kuasa Pemilik Modal (KPM) berwenang mengambil tindakan tersebut. Meskipun Pemkab Bogor telah melakukan beberapa tahapan teguran, pembongkaran paksa membutuhkan proses lebih lanjut.

Kasus Hibisc Fantasy Puncak ini menyoroti pentingnya pengawasan ketat dalam proses perizinan pembangunan, pentingnya kepatuhan terhadap aturan tata ruang, dan perlunya koordinasi yang efektif antara pemerintah daerah provinsi dan kabupaten. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga dalam tata kelola pembangunan dan perizinan di Indonesia, khususnya dalam konteks pembangunan objek wisata.