Indonesia Airlines dan Indonesian Airways: Dua Era Penerbangan Indonesia dari Aceh

Indonesia Airlines dan Indonesian Airways: Dua Era Penerbangan Indonesia dari Aceh

Perkembangan dunia penerbangan Indonesia kembali menjadi sorotan dengan munculnya rencana pendirian Indonesia Airlines, sebuah maskapai yang digagas oleh pengusaha asal Aceh, Iskandar, melalui Clypte Holding Pte Ltd, perusahaan asal Singapura. Rencana ini menimbulkan perdebatan, terutama mengingat Indonesia Airlines belum memperoleh izin operasional dari Kementerian Perhubungan. Sementara itu, sejarah mencatat keberadaan Indonesian Airways, maskapai penerbangan pertama Indonesia yang berakar dari Aceh, namun berumur pendek dan memiliki kisah unik yang sarat dengan sejarah perjuangan kemerdekaan.

Indonesia Airlines: Ambisi Premium Tanpa Izin Operasional

Indonesia Airlines, dengan rencana operasional di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, menargetkan pasar penerbangan internasional dengan layanan premium. Iskandar, CEO maskapai ini, telah merancang armada awal yang terdiri dari 20 pesawat, terdiri dari 10 pesawat berbadan kecil (Airbus A321neo atau A321LR) dan 10 pesawat berbadan lebar (Airbus A350-900 dan Boeing 787-9). Ia juga telah merekrut tim manajemen dan awak kabin yang berpengalaman dari berbagai maskapai ternama dunia, termasuk pilot berpengalaman dari maskapai asing, manajer awak kabin dari British Airways dan Emirates. Namun, ambisi besar ini terganjal oleh realita. Plt Dirjen Perhubungan Udara, Lukman F Laisa, menegaskan bahwa hingga saat ini Kementerian Perhubungan belum menerima pengajuan perizinan atau permohonan terkait pendirian dan operasional Indonesia Airlines. Untuk beroperasi secara legal, maskapai ini wajib memenuhi persyaratan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 35 Tahun 2021, termasuk memperoleh Sertifikat Standar Angkutan Udara Niaga Berjadwal dan Sertifikat Operator Pesawat Udara (AOC). Ketiadaan izin ini menjadi penghalang utama bagi realisasi rencana operasional Indonesia Airlines.

Indonesian Airways: Legenda Penerbangan dari Aceh yang Hilang

Berbeda dengan Indonesia Airlines, Indonesian Airways memiliki sejarah yang kaya dan unik. Maskapai ini bukan hanya maskapai komersial pertama Indonesia, tetapi juga merupakan bukti nyata kontribusi masyarakat Aceh bagi perjuangan kemerdekaan. Bermula dari sumbangan masyarakat Aceh yang berhasil mengumpulkan dana untuk membeli pesawat Dakota, yang kemudian diberi nama Seulawah (gunung emas) dengan nomor registrasi RI-001. Pesawat ini didapatkan setelah pidato Presiden Soekarno di Aceh pada 16 Juni 1949 yang memotivasi penggalangan dana tersebut. Proses pembelian pesawat Dakota melibatkan tokoh-tokoh kunci seperti Opsir Udara Wiweko Supono dan Djuned Jusuf. Setelah tiba di Indonesia pada akhir Oktober 1948, RI-001 Seulawah awalnya digunakan untuk keperluan penerbangan sipil.

Namun, akibat Agresi Militer Belanda II, RI-001 Seulawah beralih fungsi menjadi bagian dari Indonesian Airways, sebuah maskapai yang dibentuk untuk mendukung operasi militer di Burma (Myanmar). Indonesia Airways tidak hanya mengangkut pasukan dan pejabat pemerintah Burma, tetapi juga berperan penting dalam menyelundupkan senjata, amunisi, dan peralatan komunikasi untuk para pejuang kemerdekaan Indonesia di Aceh, dengan bantuan Jenderal Bo Ne Win, Kepala Angkatan Darat Burma. Sayangnya, setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, Indonesian Airways dilikuidasi dan semua kegiatannya di Burma dihentikan, membuka jalan bagi berdirinya Garuda Indonesia Airways (GIA) pada 31 Maret 1949. Kisah Indonesian Airways menjadi bagian penting dalam sejarah penerbangan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia, menggambarkan peran penting Aceh dalam perkembangan kedua sektor tersebut.