Jejak Sejarah: Mengungkap Keunikan Masjid Sorowaden, Masjid Kuno di Klaten

Jejak Sejarah: Mengungkap Keunikan Masjid Sorowaden, Masjid Kuno di Klaten

Masjid Sorowaden, berlokasi di Dusun Banjarsari, Desa Kauman, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten, menyimpan kisah panjang yang membentang jauh ke masa lalu. Lebih dari sekadar tempat ibadah, masjid ini merupakan saksi bisu perjalanan sejarah Klaten, bahkan dipercaya sebagai salah satu masjid tertua di wilayah tersebut. Usia masjid yang diperkirakan lebih dari seabad ini melekat erat dengan sosok Kiai Sorowadi atau Surawadi, seorang tokoh yang namanya diabadikan dalam nama masjid tersebut.

Berbagai sumber mengungkapkan cerita turun-temurun tentang pendirian Masjid Sorowaden. Basri, mantan ketua takmir masjid, mengungkapkan bahwa identitas pasti Kiai Sorowadi yang mendirikan masjid masih menjadi misteri. “Ceritanya turun-temurun yang membuat masjid itu namanya Kiai Sorowadi. Makamnya ada dua, makam kecil dan besar, tapi yang mendirikan ini Kiai Sorowadi 1 atau 2 tidak ada yang tahu pasti,” jelasnya. Namun, keberadaan dua makam tersebut menguatkan legenda mengenai sosok pendiri masjid ini. Lebih lanjut, Basri menjelaskan bahwa Kiai Sorowadi diperkirakan hidup sezaman dengan Ki Ageng Gribig Jatinom, seorang ulama berpengaruh di era Mataram Islam. Nama kampung tempat Kiai Sorowadi tinggal, yang kemudian lebih dikenal sebagai Sorowaden, juga turut melekat pada nama masjid ini. “Makanya sini itu masjidnya namanya Masjid Sorowaden dari nama Kiai Sorowadi, sini (kampung) juga sering disebut Kauman Sorowaden,” imbuhnya. Keberadaan masjid yang sudah berdiri sebelum kemerdekaan Indonesia juga dikonfirmasi oleh Basri, yang menyatakan bahwa tidak ditemukan data persil masjid di pemerintahan desa karena dulunya masjid tersebut berada di bawah kekuasaan Keraton Solo.

Arsitektur Masjid Sorowaden menyimpan keunikan tersendiri. Basri menceritakan bahwa bentuk awal masjid jauh berbeda dengan kondisi saat ini. “Dulunya ornamen mirip bangunan Hindu ada lengkung-lengkung, tempat imamnya cuma kecil, jendela juga kecil. Saat saya ke Masjid Demak, mimbarnya sama bentuknya,” tuturnya. Ciri khas arsitektur Hindu pada bangunan awal masjid ini menarik perhatian, menunjukkan perpaduan budaya yang mungkin terjadi pada masa pembangunannya. Saat ini, masjid yang berukuran sekitar 30x30 meter dan dicat hijau tersebut sudah mengalami perluasan, termasuk penambahan serambi depan dan samping. Meski demikian, beberapa elemen kuno masih terjaga, seperti bedug kulit sapi dan alat timba air manual terbuat dari kayu. Alat timba air ini, yang dulunya digunakan untuk mengambil air wudhu, kini menjadi bagian dari sejarah hidup masjid. Sumur tua tempat alat timba tersebut berada terletak di serambi bagian utara, sementara bedug berada di bagian selatan. Tiang-tiang kayu dengan penahan batu masih menjadi penyangga utama bangunan masjid, menunjukkan konstruksi yang kuat dan tahan lama.

Syakur (84), sepuh Masjid Sorowaden, menegaskan bahwa masjid tersebut telah berdiri sejak kakeknya masih hidup, menunjukkan usia masjid yang sangat tua. “Sumur nggih ngoten niku wit riyin, nggih pun nate nggunaken (sumur sejak dulu begitu dan saya pernah menggunakan),” kenangnya. Sementara itu, Hari Wahyudi, pegiat sejarah Klaten, menambahkan bahwa peta topografi Belanda tahun 1930 telah mencantumkan keberadaan Masjid Sorowaden. Ia juga menguatkan cerita leluhur tentang Kiai Sorowadi sebagai pendiri masjid, serta mengaitkannya dengan Kiai Singo Manjat, seorang ulama di Ngawen. “Dari cerita ibu dan simbah saya, masjid didirikan Kiai Sorowadi. Kiai Sorowadi itu masih seperguruan dengan Kiai Singo Manjat (Kiai Imam Rozi Tempursari, Ngawen), itu cerita tutur yang ada,” jelas Hari. Kesimpulannya, Masjid Sorowaden merupakan salah satu masjid tertua di Klaten dengan usia lebih dari 100 tahun, sebuah warisan berharga yang perlu dilestarikan.