Fluktuasi Iklim Ekstrem: Ancaman Banjir dan Kekeringan di Kota-Kota Global
Fluktuasi Iklim Ekstrem: Ancaman Banjir dan Kekeringan di Kota-Kota Global
Sebuah studi terbaru yang diprakarsai oleh WaterAid dan dirilis pada 12 Maret lalu mengungkap dampak perubahan iklim terhadap pola cuaca di berbagai kota besar dunia. Studi yang menganalisis data meteorologi selama 42 tahun dari lebih dari 100 kota ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan: peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi berupa banjir dan kekeringan. Asia Tenggara dan Selatan mengalami peningkatan curah hujan yang signifikan, sementara kawasan Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara menghadapi ancaman kekeringan yang semakin parah. Temuan ini menggarisbawahi kompleksitas dampak perubahan iklim dan ketidakmerataan distribusi risikonya.
Studi tersebut mencatat sejumlah kota besar yang mengalami dampak paling signifikan dari fluktuasi iklim ekstrem ini. Hangzhou, Tiongkok, dan Jakarta, Indonesia, misalnya, mengalami siklus berulang banjir dan kekeringan yang berkepanjangan. Kondisi serupa juga dialami oleh 15% kota yang diteliti, termasuk Dallas (AS), Shanghai (Tiongkok), dan Baghdad (Irak), yang menghadapi risiko tinggi banjir dan kekeringan secara simultan. Dr. Michael Singer dari Water Research Institute, Cardiff University, salah satu peneliti dalam studi ini, menekankan bahwa dampak perubahan iklim bersifat tidak merata. "Tidak ada asumsi bahwa setiap tempat akan memiliki respons yang sama terhadap pemanasan atmosfer," ujarnya. Baik kota kaya maupun miskin, dengan atau tanpa infrastruktur yang memadai, sama-sama rentan terhadap dampak yang dahsyat ini.
Hangzhou, sebuah kota pesisir di Tiongkok, mencatatkan rekor lebih dari 60 hari dengan suhu ekstrem tinggi tahun lalu, dan kemudian diterjang banjir besar yang memaksa puluhan ribu penduduknya mengungsi. Contoh lain menunjukkan disparitas dampak: Kolombo (Sri Lanka) dan Mumbai (India) mengalami peningkatan curah hujan yang signifikan, sementara Kairo (Mesir) dan Hong Kong mengalami kekeringan yang berkepanjangan. Perbedaan ini menunjukkan betapa kompleks dan beragamnya dampak perubahan iklim terhadap kota-kota di dunia, membutuhkan strategi adaptasi yang spesifik dan terlokalisasi.
Meskipun sejumlah kota telah berinvestasi dalam infrastruktur untuk mengelola ketersediaan air dan mitigasi bencana banjir, Dr. Singer memperingatkan bahwa infrastruktur tersebut kini dihadapkan pada tantangan yang jauh lebih kompleks. Investasi baru dan strategi adaptasi yang lebih komprehensif menjadi sangat krusial. Sebaliknya, beberapa kota seperti Tokyo (Jepang), London (Inggris), dan Guangzhou (Tiongkok) menunjukkan tren positif dengan penurunan frekuensi bulan basah dan kering ekstrem antara periode 2002 hingga 2023 dibandingkan dua dekade sebelumnya. Perubahan ini, bagaimanapun, tidak serta-merta dapat digeneralisasi dan memerlukan kajian lebih lanjut untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi pada adaptasi yang berhasil.
Kesimpulannya, studi ini menyoroti urgensi tindakan global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kapasitas adaptasi kota-kota terhadap fluktuasi iklim yang semakin ekstrem. Strategi adaptasi yang terencana dan terintegrasi, yang mempertimbangkan konteks lokal, menjadi kunci untuk mengurangi risiko bencana hidrometeorologi dan membangun ketahanan kota-kota di masa depan yang semakin tidak pasti.