Kekhawatiran Munculnya Otonomi Khusus di PIK 2: Ancaman Konflik Agraria dan Pertanyaan Tata Ruang

Kekhawatiran Munculnya Otonomi Khusus di PIK 2: Ancaman Konflik Agraria dan Pertanyaan Tata Ruang

Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, dengan luas wilayah yang melampaui Singapura, telah menimbulkan kekhawatiran akan pembentukan entitas otonom atau bahkan ‘negara dalam negara’. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Forum Tanah Air (FTA), Ida N Kusdianti, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR baru-baru ini. Ida menyoroti pembangunan markas sejumlah lembaga keamanan di PIK 2 sebagai indikasi potensi pembentukan otoritas khusus dengan administrasi dan pemerintahan sendiri, sebuah situasi yang dinilai berpotensi memicu konflik.

Kekhawatiran tersebut diperkuat oleh klaim bahwa pengembang PIK 2, dengan berlindung di balik status PSN, telah melakukan pembebasan lahan dengan harga yang sangat rendah, bahkan disebut-sebut menggusur masyarakat. Sebelum penetapan sebagai PSN, wilayah PIK 2 hanya meliputi Kecamatan Kosambi, sementara wilayah lain diberi nama PIK A hingga PIK 14. Perubahan penamaan menjadi PIK 2 di seluruh wilayah pembebasan lahan ini diduga sebagai upaya intimidasi terhadap warga agar menerima kebijakan penggusuran. Ida juga menekankan catatan Konsorsium Pembangunan Agraria yang mencatat 115 konflik agraria akibat PSN antara tahun 2020 hingga 2023, dengan dampak luas lahan mencapai 516.409.000 hektar dan 85.555 keluarga yang terdampak.

Lebih lanjut, pengembangan Green Area dan Eco-City di PIK 2, yang terdaftar sebagai PSN sejak tahun 2023 dengan nama “Tropical Coastland”, juga menimbulkan pertanyaan terkait tata ruang. Proyek seluas kurang lebih 1.756 hektar ini, meskipun bertujuan untuk pengembangan destinasi wisata berbasis hijau, kini tengah dievaluasi pemerintah. Evaluasi ini menyusul pernyataan Sekretaris Kementerian Koordinator (Sesmenko) Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, yang mengungkapkan perlunya evaluasi teknis dari Kementerian Pariwisata. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, juga telah mengungkap adanya permasalahan tata ruang dalam proyek tersebut, menyatakan bahwa sebagian besar lahan proyek masuk ke dalam kawasan hutan lindung dan terdapat ketidaksesuaian dengan Rencana Tata Ruang (RTR) di berbagai tingkatan, mulai dari RTR KSN Jabodetabekpunjur hingga Perda RTRW Provinsi Banten dan Kabupaten Tangerang.

Kondisi ini menunjukkan kompleksitas permasalahan yang melingkupi pengembangan PIK 2. Selain potensi konflik agraria yang signifikan, ketidakjelasan dan ketidaksesuaian tata ruang menimbulkan keraguan akan kelanjutan proyek dan implikasi jangka panjangnya bagi masyarakat dan lingkungan. Perlu adanya pengawasan yang ketat dan transparansi yang tinggi untuk memastikan pembangunan PIK 2 tidak merugikan masyarakat dan tetap berkelanjutan secara lingkungan. Pemerintah perlu segera menyelesaikan masalah tata ruang dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku untuk menghindari konflik lebih lanjut dan memastikan pembangunan yang berkeadilan. Transparansi dalam proses pembebasan lahan dan penegakan hukum yang tegas menjadi kunci utama dalam mengatasi permasalahan ini.

Catatan: Luas Singapura yang disebutkan dalam berita asli yaitu sekitar 718 kilometer persegi (bukan 780 kilometer persegi).