Pembantaian di Pesisir Suriah Tewaskan Lebih dari 1.300 Jiwa, Picu Krisis Kemanusiaan
Pembantaian di Pesisir Suriah Tewaskan Lebih dari 1.300 Jiwa, Picu Krisis Kemanusiaan
Insiden kekerasan brutal yang terjadi di wilayah pesisir Suriah pada Kamis, 6 Maret 2025, telah mengakibatkan tewasnya lebih dari 1.300 orang dan memicu krisis kemanusiaan yang meluas. Kejadian ini menjadi tantangan serius bagi pemerintahan Presiden Ahmed al-Sharaa yang baru terbentuk, menguji stabilitas negara pasca-penggulingan Bashar al-Assad. Wilayah yang dilanda kekerasan ini merupakan tempat tinggal komunitas Alawi, sebuah minoritas Syiah yang juga merupakan asal usul keluarga Assad.
Berdasarkan laporan Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), sebuah lembaga pemantau perang yang berbasis di Inggris, sebanyak 745 warga sipil tewas di provinsi Latakia dan Tartus. SOHR menyebut banyak korban tewas akibat 'eksekusi' yang dilakukan oleh personel keamanan atau pejuang pro-pemerintah, yang disertai dengan penjarahan rumah dan properti warga. Selain warga sipil, kekerasan tersebut juga menewaskan 125 anggota pasukan keamanan dan 148 pejuang pro-Assad. Kejadian ini bermula dari bentrokan yang dipicu penangkapan seorang tersangka di sebuah desa mayoritas Alawi.
Pemerintah Suriah, melalui kantor berita resmi SANA, melaporkan bahwa pasukan keamanan telah dikerahkan ke Latakia, Jableh, dan Baniyas untuk memulihkan ketertiban. Namun, kesaksian warga seperti Samir Haidar, seorang warga Baniyas yang kehilangan dua saudara laki-laki dan seorang keponakannya, menggambarkan situasi yang mengerikan. Haidar, seorang anggota oposisi sayap kiri yang pernah dipenjara di era Assad, mengatakan bahwa orang asing, diduga dari Uzbekistan atau Chechnya, turut serta dalam pembantaian tersebut.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Suriah, Hassan Abdul Ghani, menyatakan bahwa pasukan keamanan telah berhasil mengembalikan kendali atas wilayah yang diserang. Namun, laporan dari SANA juga menyebutkan pemadaman listrik di seluruh provinsi Latakia akibat serangan terhadap jaringan listrik. Presiden al-Sharaa, dalam sebuah pernyataan yang tegas, menyatakan bahwa pemerintah akan menuntut pertanggungjawaban semua pihak yang terlibat dalam pembantaian ini dan menegaskan komitmennya untuk mencegah terjadinya perang saudara.
Reaksi internasional terhadap pembantaian ini pun mengecam keras tindakan kekerasan tersebut. Kepala hak asasi manusia PBB, Volker Turk, menyerukan penghentian segera kekerasan, sementara Liga Arab, Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara lain mengecam peristiwa tersebut. Berbagai laporan dari saksi mata menggambarkan situasi yang mencekam, dengan warga yang takut keluar rumah dan mendapatkan informasi tentang kematian tetangga mereka melalui media sosial.
Ayman Fares, seorang mantan tahanan politik yang baru saja dibebaskan, menceritakan pengalaman mengerikannya, melihat keluarga-keluarga dibunuh di rumah mereka sendiri. Fares, yang sempat mengkritik pemerintahan Assad di media sosial, beruntung selamat karena dikenali oleh penyerang. Namun, rumahnya dijarah, dan ia menyaksikan secara langsung kekejaman yang dilakukan oleh para penyerang yang ia duga berasal dari luar Suriah.
Selain kesaksian Fares, warga lain bernama Ali (nama samaran) juga menceritakan kisah pelariannya dari rumahnya bersama keluarga. Ali menekankan bahwa warga Sunni turut membantu menyelamatkan warga Alawi, menunjukkan adanya solidaritas antar-agama di tengah kekacauan tersebut. Situasi di Banias, tempat kejadian sebagian besar kekerasan, mulai stabil setelah tentara Suriah tiba dan memfasilitasi evakuasi warga sipil ke tempat yang aman.
Munculnya pemberontakan baru yang dipimpin oleh Ghiath Dallah, mantan brigadir jenderal di tentara Assad, juga menambah kompleksitas situasi. Pemberontakan ini dipicu oleh berbagai faktor, termasuk ketidakpuasan atas pembubaran lembaga keamanan oleh pemerintah dan tingginya angka kemiskinan di Suriah. Banyak warga menyalahkan Presiden al-Sharaa atas situasi ini. Sementara itu, ribuan warga Alawi mengungsi ke pangkalan militer Rusia di Hmeimim untuk mencari perlindungan, menunjukkan skala krisis kemanusiaan yang terjadi.
Situasi ini juga menunjukkan potensi konflik sektarian yang mendalam, dengan adanya ketegangan antara mayoritas Sunni dan minoritas Alawi. Krisis ini menuntut respon cepat dan terkoordinasi dari komunitas internasional untuk mencegah terjadinya eskalasi lebih lanjut dan memberikan bantuan kemanusiaan bagi korban.