Bayang-Bayang Ukraina di Asia Timur: Ancaman Baru dari Kebijakan Transaksional AS di Era Trump
Bayang-Bayang Ukraina di Asia Timur: Ancaman Baru dari Kebijakan Transaksional AS di Era Trump
Peringatan mantan Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, tentang potensi Asia Timur mengalami nasib serupa Ukraina, kembali menjadi sorotan. Peringatan yang disampaikan dalam forum dialog tahun 2022 itu, kini terasa semakin relevan di tengah dinamika geopolitik yang dipengaruhi oleh kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Kishida awalnya menekankan ancaman invasi teritorial, namun kini ancaman yang muncul lebih kompleks: pengkhianatan sekutu, seperti yang dialami Ukraina pasca-perang.
Ancaman ini bukan sekadar hipotesis belaka. Kebijakan Trump yang berdalih mengakhiri perang justru lebih menyerupai negosiasi sepihak yang menguntungkan Rusia. Ukraina, sebagai imbalan bantuan militer dan finansial AS, dibebani tuntutan kompensasi besar-besaran, termasuk hak atas sumber daya mineral. Hal ini diperkuat oleh Menteri Pertahanan Singapura, Ng Eng Hen, yang menilai kebijakan luar negeri AS kini cenderung mengedepankan supremasi nasional dengan mengorbankan hubungan bilateral dan multilateral. Ng Eng Hen secara gamblang menyatakan, "Citra AS telah berubah dari pembebas menjadi pengganggu besar, hingga kini lebih seperti tuan tanah yang menagih sewa," menggambarkan pendekatan AS yang semakin transaksional dalam diplomasi global. Di Eropa, Trump menerapkan tekanan terhadap negara-negara dengan surplus perdagangan tinggi, menuntut pembayaran lebih untuk keamanan yang dijamin AS. Pola serupa berpotensi diterapkan di Asia Timur, membuat negara-negara di kawasan ini menghadapi tekanan ekonomi yang signifikan.
Meskipun demikian, beberapa faktor membedakan Asia Timur dari Ukraina. Hubungan AS dengan negara-negara Asia Timur lebih didasarkan pada kepentingan ekonomi dibandingkan nilai-nilai demokrasi atau hak asasi manusia. Namun, bukan berarti kawasan ini sepenuhnya aman. Negara-negara Asia Timur dengan surplus perdagangan besar terhadap AS, seperti Vietnam, Indonesia, Malaysia, dan Thailand, berisiko menjadi sasaran tekanan ekonomi. Jepang, misalnya, telah menerapkan strategi "tiga P" – praise (memuji Trump), pander (menyesuaikan diri dengan kebijakan AS), dan posture (memastikan aliansi tetap kuat) – untuk mengantisipasi tekanan tersebut. Namun, strategi ini tidak menjamin terhindarnya Jepang dari tarif atau tekanan lain dalam negosiasi dengan Washington.
Singapura, dengan defisit perdagangan sebesar 40 miliar dollar AS (Rp 656 triliun) terhadap AS pada 2022 dan perannya sebagai gerbang bagi 6.000 perusahaan AS di Asia, juga rentan terhadap langkah-langkah proteksionis Trump. Filipina, sebagai salah satu sekutu terlama AS di Asia Tenggara, juga berpotensi menghadapi tekanan terkait bantuan militer dari Washington. Ketidakpastian ini memaksa negara-negara Asia Timur untuk segera menyesuaikan strategi mereka. Jika Trump menarik kembali komitmen AS di Asia dan mempertahankan pendekatan transaksional, kawasan ini harus siap menghadapi realitas geopolitik yang semakin kompleks dan penuh tantangan. Penting bagi negara-negara Asia Timur untuk melakukan diplomasi yang cermat dan membangun kerja sama regional untuk mengurangi kerentanan mereka terhadap kebijakan luar negeri AS yang berubah-ubah.
Ancaman yang dihadapi Asia Timur tidak hanya berasal dari potensi invasi militer, tetapi juga dari strategi ekonomi yang semakin transaksional dari Amerika Serikat. Kebijakan tersebut dapat menyebabkan dampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi dan politik di kawasan tersebut.