Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, Ditahan ICC Terkait Perang Narkoba

Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, Ditahan ICC Terkait Perang Narkoba

Penangkapan Rodrigo Duterte, mantan Presiden Filipina, di Bandara Internasional Ninoy Aquino, Manila, pada Selasa (11/3/2025) telah mengguncang dunia internasional. Duterte, yang tiba dari Hong Kong setelah menggalang dukungan untuk pemilihan paruh waktu Mei 2025, ditahan atas perintah penangkapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terkait dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tuduhan ini terkait dengan kebijakan kontroversial 'perang melawan narkoba' yang diimplementasikannya selama masa jabatannya sebagai presiden.

Pihak berwenang Filipina memastikan bahwa Duterte dalam keadaan sehat dan berada di bawah pengawasan medis pemerintah. Namun, penangkapan ini menandai babak baru dalam kontroversi yang telah lama mewarnai pemerintahannya, yaitu implementasi kebijakan represif dalam pemberantasan narkoba. Operasi anti-narkoba yang dilakukan selama masa kepemimpinannya mengakibatkan tewasnya ribuan orang, baik oleh aparat kepolisian maupun oleh kelompok-kelompok tak dikenal. Data resmi pemerintah mencatat lebih dari 6.000 tersangka tewas, angka yang jauh lebih rendah daripada perkiraan kelompok-kelompok HAM yang mencatat korban jauh lebih banyak.

Reaksi atas penangkapan ini terpolarisasi. Peter Murphy, Ketua Koalisi Internasional untuk Hak Asasi Manusia di Filipina (ICHRP), menyebut penangkapan tersebut sebagai tonggak sejarah dalam upaya meminta pertanggungjawaban atas pembunuhan massal di bawah pemerintahan Duterte. Sebaliknya, Salvador Panelo, mantan juru bicara Duterte, mengecam penangkapan tersebut sebagai tindakan ilegal, mengingat Filipina telah menarik diri dari ICC pada tahun 2019. Namun, ICC menegaskan yurisdiksinya masih berlaku untuk kejahatan yang terjadi sebelum penarikan diri Filipina tersebut, mencakup periode November 2011 hingga Maret 2019.

Kontroversi seputar kebijakan perang melawan narkoba Duterte memuncak pada berbagai pernyataan kontroversial yang ia lontarkan. Salah satu pernyataan yang paling mengejutkan adalah perbandingan dirinya dengan Adolf Hitler, dengan mengatakan bahwa ia akan dengan senang hati membantai tiga juta pencandu narkoba di Filipina. Pernyataan tersebut, yang disampaikan beberapa bulan setelah ia menjabat, menimbulkan kecaman internasional yang meluas. Kebijakan ini pun terus dikritik karena dinilai memberikan ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat kepolisian, termasuk eksekusi di luar proses hukum. Parlemen Filipina bahkan pernah mengungkap keberadaan 'regu maut' yang diduga dibayar untuk memburu dan mengeliminasi tersangka narkoba, sebuah tuduhan yang selalu dibantah oleh Duterte.

Penyelidikan ICC terhadap dugaan pelanggaran HAM oleh Duterte dimulai sejak 2016 dan resmi dibuka pada 2021. Penyelidikan ini meneliti insiden dari masa jabatan Duterte sebagai wali kota Davao hingga sebelum Filipina menarik diri dari ICC. Penangkapan Duterte menandai eskalasi signifikan dalam upaya membawa mantan presiden tersebut ke pengadilan internasional untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. Proses hukum yang akan dihadapi Duterte di masa mendatang akan menjadi ujian penting bagi sistem peradilan internasional dan komitmen global terhadap keadilan dan penghormatan hak asasi manusia.

Catatan: Angka korban tewas dalam perang melawan narkoba di Filipina masih menjadi perdebatan dan angka yang beragam telah dilaporkan oleh berbagai sumber.