Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Hukum Menelan Dahak saat Berpuasa
Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Hukum Menelan Dahak saat Berpuasa
Ramadan, bulan suci penuh berkah bagi umat Muslim, menuntut kesucian dan ketaatan dalam menjalankan ibadah puasa. Salah satu pertanyaan yang kerap muncul di tengah pelaksanaan ibadah puasa adalah terkait menelan dahak. Dahak, lendir yang dihasilkan saluran pernapasan, seringkali keluar secara alami dan tertelan secara refleks. Pertanyaan kunci yang muncul kemudian adalah: apakah tindakan menelan dahak ini membatalkan puasa?
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum menelan dahak saat berpuasa. Buku panduan fikih seperti Panduan Muslim Kaffah Sehari-hari dari Kandungan hingga Kematian karya Muh. Hambali, mencatat adanya perbedaan pandangan yang signifikan. Sebagian ulama berpendapat bahwa menelan dahak yang telah mengalir di mulut membatalkan puasa, karena dianggap serupa dengan makan dan minum. Pendapat ini didasarkan pada prinsip bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut, sebagaimana makanan dan minuman, berpotensi membatalkan puasa.
Di sisi lain, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa menelan dahak tidak membatalkan puasa. Pendapat ini menyamakan dahak dengan ludah, yang hukum menelannya telah disepakati tidak membatalkan puasa. Bahkan, menelan ludah yang sengaja dikumpulkan pun tidak akan membatalkan puasa. Buku Bekal Menyambut Bulan Suci Ramadan karya Kholilurrohman turut menjelaskan bahwa dahak yang masih berada di bawah makhraj (tempat keluarnya dahak) tidak membatalkan puasa. Imam Abu Hanifah, misalnya, berpendapat bahwa menelan dahak yang telah sampai ke lidah pun tidak membatalkan puasa.
Lebih lanjut, kitab Asrar ash Shiyam wa Ahkamuhu 'ala Madzahib al-Arba' karya Thariq Muhammad Suwaidan (terjemahan Toyib Arifin) memaparkan perbedaan pendapat di antara empat mazhab utama Islam. Ulama dari empat mazhab sepakat bahwa mengeluarkan dahak tidak membatalkan puasa. Namun, perbedaan muncul ketika dahak tersebut ditelan setelah dikeluarkan. Mazhab Syafi'i dan Hambali berpendapat bahwa menelan dahak yang telah dikeluarkan akan membatalkan puasa, sehingga memerlukan qadha (pengganti puasa) tanpa kafarat (denda). Sementara itu, Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa menelan dahak dalam kondisi tersebut tidak membatalkan puasa. Meskipun demikian, kedua mazhab ini menganjurkan untuk membuang dahak karena dianggap sebagai sesuatu yang kotor dan berpotensi membawa penyakit.
Kesimpulannya, hukum menelan dahak saat berpuasa masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Adanya perbedaan pendapat ini menuntut pemahaman yang komprehensif dan sikap bijak dalam berpuasa. Bagi yang ragu, konsultasi dengan ulama atau referensi fikih terpercaya sangat dianjurkan untuk memperoleh kejelasan dan ketenangan hati dalam menjalankan ibadah puasa.
Berikut ringkasan perbedaan pendapat:
- Pendapat yang Membatalkan Puasa: Menelan dahak yang telah mengalir di mulut dianggap sebagai tindakan yang serupa dengan makan dan minum, sehingga membatalkan puasa (Mazhab Syafi'i dan Hambali).
- Pendapat yang Tidak Membatalkan Puasa: Menelan dahak disamakan dengan menelan ludah, yang tidak membatalkan puasa. Dahak yang masih di bawah makhraj atau yang telah sampai di lidah pun tidak membatalkan puasa (Mazhab Hanafi dan Maliki, serta beberapa pendapat lain).
Yang terpenting adalah menjaga niat baik dan berusaha untuk menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan keraguan dalam menjalankan ibadah puasa.