Keterwakilan Perempuan dalam Pilkada 2024: Tantangan dan Ketimpangan Gender dalam Sistem Politik

Keterwakilan Perempuan dalam Pilkada 2024: Tantangan dan Ketimpangan Gender dalam Sistem Politik

Hasil Pilkada Serentak 2024 menunjukkan angka keterwakilan perempuan yang masih rendah. Dari 481 kepala daerah terpilih untuk periode 2025-2030, hanya 43 di antaranya adalah perempuan. Persentase ini mencerminkan ketidakseimbangan gender yang signifikan dalam kancah politik Indonesia dan membayangi cita-cita keadilan dan kesetaraan gender.

Rendahnya angka keterwakilan perempuan ini bukan hanya sekadar masalah angka statistik, melainkan indikator kuat dari sistem politik yang belum sepenuhnya inklusif dan berpihak pada perempuan. Meskipun terdapat peningkatan dibanding periode sebelumnya, persentase tersebut masih jauh dari ideal dan menggarisbawahi tantangan besar dalam mendorong partisipasi politik perempuan yang setara.

Berbagai faktor berkontribusi terhadap rendahnya keterwakilan perempuan. Hambatan struktural, seperti akses terbatas pada pendanaan kampanye, jaringan politik, dan dukungan partai politik, seringkali menjadi penghalang bagi perempuan untuk maju dalam kontestasi politik. Stigma dan diskriminasi gender juga masih menjadi realita, menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi perempuan untuk bersaing secara setara dengan kandidat laki-laki.

Lebih memprihatinkan lagi, beberapa kasus yang terjadi dalam Pilkada 2024 memperlihatkan bagaimana sistem hukum dan politik belum sepenuhnya bersifat 'ramah perempuan'. Contohnya, kasus anulir kemenangan Ratu Zakiyah-Najib Hamas dalam Pilkada Kabupaten Serang, yang memenangkan mayoritas suara signifikan, namun kemudian diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan pemungutan suara ulang (PSU). Kasus serupa juga menimpa Owena Mayang Shari, calon bupati perempuan di Pilkada Mahakam Ulu, yang didiskualifikasi MK dengan alasan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Kasus-kasus ini menimbulkan pertanyaan serius tentang keadilan dan kesetaraan dalam proses penegakan hukum dan penyelenggaraan pemilihan.

Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nomor 10 Tahun 2015 tentang Grand Design Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik dan Pengambilan Keputusan menekankan pentingnya pengawalan proses peningkatan keterwakilan perempuan, mulai dari tahap kaderisasi di partai politik hingga penyelesaian sengketa pilkada di MK. Namun, implementasi peraturan ini masih menghadapi banyak tantangan. Gender equality harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap tahapan proses politik, termasuk dalam pengambilan keputusan oleh MK.

Secara keseluruhan, rendahnya keterwakilan perempuan dalam Pilkada 2024 menyoroti kebutuhan untuk reformasi sistemik dalam mendorong partisipasi politik perempuan. Hal ini memerlukan upaya komprehensif, termasuk kuota perempuan dalam pencalonan, peningkatan akses terhadap sumber daya dan pelatihan politik bagi perempuan, serta pengawasan yang ketat untuk memastikan keadilan dan kesetaraan dalam proses pemilihan.

Kesimpulan: Hasil Pilkada 2024 menunjukkan tantangan besar dalam mencapai kesetaraan gender dalam politik. Perlu adanya komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan untuk mereformasi sistem dan membangun lingkungan politik yang inklusif dan berpihak pada perempuan.