Mengais Kehangatan Ramadan di Negeri Tiga Mahkota: Kisah Mahasiswa Indonesia di Swedia
Mengais Kehangatan Ramadan di Negeri Tiga Mahkota: Kisah Mahasiswa Indonesia di Swedia
Ramadan di Swedia, negara dengan mayoritas penduduk non-muslim yang terletak di ujung utara bumi, menawarkan pengalaman unik bagi Danny Fadel Prasetya, seorang mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan Master in Sustainable Production Development di KTH Royal Institute of Technology, Stockholm. Tahun pertama Ramadannya di kota ini menghadirkan tantangan dan keindahan tersendiri, jauh berbeda dari pengalaman berpuasa di Indonesia. Perbedaan paling mencolok terletak pada durasi puasa yang signifikan, mencapai 15 jam di puncaknya, jauh lebih panjang dibandingkan rata-rata durasi puasa di Indonesia.
Durasi puasa yang panjang tersebut, menurut laporan Al Jazeera, menjadikan Swedia sebagai salah satu negara dengan waktu puasa terpanjang di dunia. Di awal Ramadan, durasi puasa di Stockholm relatif sama dengan Indonesia, sekitar 13 jam. Namun, seiring bertambahnya hari, lamanya waktu berpuasa meningkat sejalan dengan berakhirnya musim dingin dan diterapkannya daylight saving time atau waktu musim panas. Hal ini mengakibatkan perbedaan waktu berbuka dan imsak yang cukup signifikan, dari sekitar pukul 04.30 hingga 18.30 di awal Ramadan menjadi pukul 03.00 hingga 19.30 di akhir Ramadan. Perbedaan ini tentu memerlukan penyesuaian yang cukup signifikan bagi Danny dan para diaspora Indonesia lainnya.
Berbeda dengan semarak Ramadan di Indonesia dengan bazar-bazar takjil dan penyesuaian waktu kerja dan kuliah, suasana Ramadan di Swedia lebih tenang dan berjalan seperti bulan-bulan biasa. Namun, hal tersebut tak mengurangi semangat Danny dan komunitas Indonesia di Stockholm untuk tetap merasakan kehangatan Ramadan. Mereka memanfaatkan masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan dan sosial. Sebelum adzan Maghrib, kultum rutin diadakan, diikuti buka puasa bersama dan salat Tarawih. Acara ini menjadi sarana penting bagi Danny untuk tetap terhubung dengan budaya dan tradisi Ramadan.
Lebih lanjut, komunitas Indonesia di Stockholm juga secara aktif menyelenggarakan kegiatan keagamaan dan sosial lainnya. Hampir setiap minggu, mereka mengadakan pengajian dan buka puasa bersama yang dihadiri 50 hingga 100 orang. Acara ini diawali dengan tadarus Al-Quran, dilanjutkan dengan kultum secara hybrid melalui platform Zoom, dan diakhiri dengan salat Tarawih berjamaah. Menu makanan Nusantara menjadi sajian istimewa yang dibawa secara potluck, menciptakan suasana persaudaraan dan keakraban layaknya di Tanah Air. Inisiatif ini membuktikan bagaimana diaspora Indonesia tetap dapat menjaga tradisi dan menghidupkan suasana Ramadan di tengah lingkungan yang berbeda budaya.
Pengalaman Danny di Swedia menunjukkan bahwa meskipun geografis dan budaya berbeda, semangat Ramadan tetap dapat dijaga dan dirayakan. Komunitas dan persaudaraan menjadi kunci utama dalam menjaga kehangatan dan nilai-nilai Ramadan di negeri yang terletak di ujung utara tersebut.
Catatan: Detail waktu puasa hanya merujuk pada pengalaman Danny dan dapat bervariasi tergantung lokasi dan metode perhitungan.