Proyek Geothermal Mataloko: Ancaman Lingkungan dan Tuntutan Warga Nagekeo

Proyek Geothermal Mataloko: Ancaman Lingkungan dan Tuntutan Warga Nagekeo

Ratusan warga Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), termasuk sejumlah biarawan dan biarawati Katolik, menggelar aksi demonstrasi di Kantor DPRD dan Kantor Bupati Ngada pada Rabu (12/3/2025). Aksi ini dilatarbelakangi oleh keresahan mendalam akibat dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Geothermal Mataloko. Warga menuntut penghentian proyek yang telah berlangsung sejak tahun 2003 ini, mengatakan proyek tersebut telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang signifikan dan mengancam mata pencaharian mereka.

Salah satu warga, Siska, mengungkapkan pencemaran air bersih di sungai akibat pembuangan limbah dan penyedotan air yang intensif dalam proses pemboran. "Pipa untuk menyedot air berada di wilayah paroki Laja, daerah yang airnya digunakan warga untuk konsumsi sehari-hari. Selain itu, ada pipa pembuangan limbah. Kami menolak menggunakan air tersebut karena telah merusak ekosistem dan lingkungan, bahkan mencemari sawah kami," ungkap Siska dalam keterangan tertulis. Antonius Anu, warga lainnya, menambahkan bahwa enam sumur bor telah gagal pada tahap pengeboran pertama, namun proyek tetap dilanjutkan. Ia menilai proyek ini sebagai “coba-coba” yang telah merugikan masyarakat luas. "Proyek geotermal Mataloko hanya ajang coba-coba. Banyak lubang yang berbau belerang, kami minta pemerintah mencabut izin lokasi karena sudah sekitar 1000 hektar lahan yang terdampak," tegas Antonius.

Koordinator aksi, Pater Felix Baghi, menyatakan kegagalan total proyek pada periode pertama (tahun 2000-an) dan pengembangannya yang dipaksakan pada periode kedua justru telah menimbulkan keresahan yang meluas. Keresahan tersebut meliputi penurunan pendapatan ekonomi warga, kerusakan rumah, perubahan suhu udara ekstrem, dan gangguan pernapasan. Ia menekankan ancaman kekeringan di wilayah Laja, yang merupakan lumbung pangan Kabupaten Ngada, akibat penyedotan air oleh proyek geotermal. Lebih lanjut, Pater Felix menyoroti ketidaktransparanan sosialisasi proyek yang dilakukan secara tertutup dengan mendekati tokoh masyarakat tertentu. "Amdal yang telah dibaca menyatakan bahwa air untuk injeksi diambil dari sungai yang tidak sesuai. Keresahan masyarakat terus tumbuh dan geotermal terus berjalan. Sosialisasi tidak dibuat transparan, tetapi dilakukan secara gerilya dengan mendekati tokoh pengaruh di masyarakat. Karena itu, tuntutan kami adalah menghentikan proyek geothermal ini," ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa aksi ini juga sebagai upaya untuk mencegah konflik horizontal yang semakin meningkat.

Proyek ini bahkan telah menarik perhatian internasional. Pater Felix mengungkapkan bahwa masalah proyek pembangunan geotermal di Flores telah menjadi perhatian Badan Hak Asasi Manusia (HRC) PBB di Jenewa, Swiss, berdasarkan laporan dari Vivat International, sebuah LSM internasional yang berafiliasi dengan berbagai badan PBB seperti UNEP dan UNFCCC. Mereka mendesak Menteri ESDM, Bapak Bahlil Lahadalia, untuk mencabut SK Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 tentang Penetapan Flores sebagai pulau panas bumi, karena dinilai telah merampas ruang hidup perempuan di Flores.

Menanggapi aksi tersebut, Bupati Ngada, Raymundus Bena, menyatakan akan membentuk tim untuk menyelidiki dampak proyek di lapangan, melibatkan perwakilan pemerintah dan perwakilan warga terdampak. Ia mengakui bahwa proyek geotermal merupakan proyek strategis nasional, namun menyatakan pentingnya mendengarkan aspirasi warga. "Sebagai pemerintahan paling bawah yang turut mengamankan program ini, tentunya harus bisa mendengar masukan-masukan, dan ini tadi kita sudah bersepakat untuk membentuk tim," ujarnya.

Demonstrasi ini menjadi bukti nyata keresahan masyarakat Nagekeo terhadap dampak lingkungan dari proyek geothermal Mataloko. Tuntutan penghentian proyek dan penyelidikan menyeluruh atas dampaknya menjadi fokus utama perjuangan warga yang terdampak.