Degradasi Hutan Hulu Ciliwung Picu Banjir Bandang di Puncak Bogor
Degradasi Hutan Hulu Ciliwung Picu Banjir Bandang di Puncak Bogor
Banjir bandang yang baru-baru ini melanda wilayah Puncak, Bogor, menjadi sorotan tajam para ahli dan pengamat lingkungan. Kejadian ini, yang berdampak pada Kampung Pensiunan, Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua dan Megamendung, merupakan fenomena yang tidak lazim, mengingat banjir bandang biasanya terjadi di daerah hilir Daerah Aliran Sungai (DAS). Kejadian di hulu DAS Ciliwung ini menunjukkan adanya permasalahan serius terkait pengelolaan lingkungan dan tata guna lahan di wilayah tersebut.
Analisis mendalam terhadap peristiwa ini menunjukkan korelasi kuat antara alih fungsi lahan yang masif di hulu DAS Ciliwung dengan tingginya intensitas banjir bandang. Data menunjukkan penurunan drastis luas kawasan hutan di wilayah tersebut. Pada tahun 1981, kawasan hutan hulu DAS Ciliwung masih mencapai 29,96 persen, namun angka tersebut menyusut menjadi 21,07 persen pada tahun 1990, dan kini hanya tersisa 8,9 persen. Data Forest Watch Indonesia memperkuat temuan ini, mengungkapkan konversi lahan hutan lindung dan konservasi menjadi perkebunan dan tegalan dalam skala besar. Perubahan tutupan lahan ini mengakibatkan berkurangnya kapasitas tanah dalam menyerap air hujan, sehingga terjadi peningkatan limpasan permukaan (surface runoff) yang signifikan. Koefisien limpasan permukaan yang mencapai 90 persen, seperti yang disinyalir oleh ahli hidrologi IPB University, Hidayat Pawitan, menunjukkan tingginya risiko terjadinya banjir bandang, bahkan di daerah hulu.
Luas DAS Ciliwung hulu yang mencapai 14.860 ha, terbagi ke dalam 6 sub-DAS, yakni:
- Sub DAS Ciesek (2.504,76 ha)
- Sub DAS Ciliwung Hulu (5.885,78 ha)
- Sub DAS Cibogo (1.375,40 ha)
- Sub DAS Cisarua (2.218,92 ha)
- Sub DAS Cisukabirus (1.696,91 ha)
- Sub DAS Ciseuseupan (1.178,23 ha)
Sebaran topografi yang didominasi oleh wilayah datar dan bergelombang, dikombinasikan dengan curah hujan tinggi, semakin memperparah dampak dari degradasi hutan. Kondisi ini mengakibatkan air hujan mengalir langsung ke sungai dengan kecepatan tinggi, memicu banjir bandang yang dahsyat di daerah hilir. Analisis debit air Sungai Ciliwung dari tahun 1989 hingga 2009 menunjukkan fluktuasi yang signifikan, dengan rasio debit air maksimum dan minimum mencapai angka tertinggi 253,22 pada tahun 1998, dan terendah 11,59 pada tahun 2008. Fluktuasi ini mencerminkan ketidakstabilan ekosistem DAS Ciliwung yang semakin rentan terhadap bencana hidrologi.
Permasalahan ini bukan hanya sebatas bencana alam, melainkan juga merupakan konsekuensi dari kebijakan tata guna lahan yang kurang bijak. Konversi lahan hutan yang masif, meskipun sebagian dialihfungsikan menjadi perkebunan teh (yang menurut Gubernur Jabar Dedi Mulyadi telah mencapai lebih dari 1000 ha), tetap tidak mampu menggantikan fungsi ekologis hutan dalam menyerap air hujan. Hutan, khususnya hutan dengan pohon berdaun lebar, memiliki kemampuan menyerap air hujan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan lahan perkebunan atau lahan terbuka. Penelitian menunjukkan bahwa hutan dengan pohon berdaun jarum mampu menyerap 60 persen air hujan, sementara hutan berdaun lebar dapat menyerap hingga 80 persen. Oleh karena itu, pemulihan fungsi hutan di daerah hulu DAS Ciliwung menjadi solusi krusial untuk mencegah terjadinya banjir bandang di masa mendatang.
Langkah konkret yang perlu diambil adalah mengembalikan fungsi kawasan hutan di daerah Cisarua dan Megamendung dengan melakukan penanaman vegetasi pohon yang cepat tumbuh dan berdaun lebar. Upaya ini, diiringi dengan kebijakan tata ruang yang lebih berkelanjutan, merupakan kunci dalam menjaga keseimbangan ekosistem DAS Ciliwung dan meminimalisir risiko bencana hidrologi di masa depan. Perlu disadari bahwa meskipun manusia tidak mampu mengendalikan curah hujan, manusia mampu mengelola bentang alam untuk meminimalisir dampaknya. Kejadian banjir bandang di Puncak Bogor ini harus menjadi pelajaran berharga untuk pengelolaan sumber daya alam yang lebih bijak dan berkelanjutan.