Revisi UU TNI dan Ancaman terhadap Sistem Meritokrasi serta Manajemen Talenta ASN
Revisi UU TNI dan Ancaman terhadap Sistem Meritokrasi serta Manajemen Talenta ASN
Revisi Pasal 47 Undang-Undang TNI yang memperluas akses jabatan sipil bagi prajurit aktif telah memicu kontroversi dan kekhawatiran serius di kalangan masyarakat sipil. Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan, dalam siaran persnya tanggal 6 Maret 2025, menyatakan keprihatinannya terhadap potensi rusaknya sistem organisasi dan karier Aparatur Sipil Negara (ASN). Perubahan ini dinilai membuka peluang bagi TNI untuk menduduki berbagai posisi sipil, mengancam integritas dan efektivitas birokrasi. Kekhawatiran ini semakin relevan mengingat upaya pemerintah untuk membangun birokrasi kelas dunia melalui implementasi sistem manajemen talenta di seluruh Kementerian/Lembaga (K/L).
Data terbaru dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) tahun 2025 menunjukkan bahwa baru 44 K/L dari sekitar 600 K/L yang siap menerapkan manajemen talenta. Sistem ini, diadopsi dari sektor swasta, menempatkan sumber daya manusia sebagai aset terpenting organisasi. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan-RB) Nomor 3 Tahun 2020 menegaskan tujuan manajemen talenta ASN, yaitu mewujudkan rencana suksesi yang objektif, terencana, terbuka, tepat waktu, dan akuntabel untuk memperkuat sistem merit. Implementasinya terdiri dari lima tahap: akuisisi, pengembangan, retensi, penempatan talenta, serta pemantauan dan evaluasi. Sistem ini mengklasifikasikan pegawai berdasarkan kinerja dan potensi dalam sembilan kotak manajemen talenta.
Namun, penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil berpotensi mengganggu siklus dan tahapan manajemen talenta, khususnya retensi dan penempatan (suksesi jabatan strategis). Penelitian Subagya dkk (2024) menunjukkan korelasi positif antara manajemen talenta dan motivasi kerja pegawai. Sistem ini memungkinkan identifikasi, retensi, dan penghargaan bagi pegawai bermotivasi tinggi melalui pengembangan karier. Hal ini diperkuat oleh Suryani & Stiawati (2024) dalam jurnal “Urgensi Manajemen Talenta dalam Upaya Percepatan Transformasi Organisasi Publik”, yang menekankan manajemen talenta sebagai fondasi reformasi birokrasi dan pendukung ASN kompeten dalam posisi strategis.
Revisi UU TNI berpotensi mengganggu sistem meritokrasi. ASN yang berjuang melalui sistem merit akan kehilangan motivasi jika jabatan strategis dapat diisi personel militer melalui jalur non-meritokratis. Pengisian jabatan pimpinan tinggi saat ini telah dilakukan secara akuntabel dan kompetitif melalui seleksi terbuka (open bidding). Jika prajurit TNI aktif diizinkan menduduki jabatan sipil, mereka seharusnya juga mengikuti proses seleksi ini untuk menciptakan persaingan yang adil dan mencegah kecemburuan di kalangan ASN. Urgensi penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil perlu dipertanyakan. Apakah birokrasi kekurangan sumber daya kompeten? Apakah penempatan TNI aktif menjadi solusi atas kekurangan birokrat berkualitas?
Pemerintah seharusnya fokus memperbaiki pengembangan talenta ASN, bukan membuka peluang bagi militerisasi birokrasi sipil. Budaya kerja dan nilai-nilai yang dianut tentara berbeda dengan nilai supremasi sipil. Perbedaan proses berpikir, pengambilan keputusan, gaya kepemimpinan, dan karakter berpotensi menimbulkan turbulensi. Iklim keterbukaan dalam menyampaikan kritik dan saran kepada atasan juga akan terhambat. ASN mungkin enggan memberikan masukan kepada atasan dari kalangan militer. Untuk mewujudkan birokrasi kelas dunia, pemerintah perlu memperkuat sistem manajemen talenta ASN, bukan melemahkannya dengan kebijakan yang berpotensi memperlemah reformasi birokrasi dan bahkan mengancam kembalinya dwifungsi TNI yang telah diakhiri melalui Reformasi 1998.
Kesimpulan: Revisi UU TNI perlu dikawal untuk memastikan reformasi birokrasi tetap berjalan sesuai rencana dan mencegah kembalinya dwifungsi TNI. Prioritas harus diberikan pada penguatan sistem manajemen talenta ASN dan penegakan sistem meritokrasi yang adil dan transparan.