Dukungan Keluarga: Pilar Ketahanan Pengidap Epilepsi
Dukungan Keluarga: Pilar Ketahanan Pengidap Epilepsi
Di tengah minimnya edukasi publik, Orang dengan Epilepsi (ODE) seringkali menghadapi stigma negatif dan diskriminasi. Kondisi ini diperparah oleh pemahaman yang keliru mengenai epilepsi, penyakit gangguan sistem saraf pusat yang ditandai dengan aktivitas otak abnormal dan kejang berulang yang terkadang disertai hilangnya kesadaran. Pengalaman Nurhaya Nurdin, seorang ODE dan dosen di Fakultas Keperawatan Universitas Hasanuddin, menyoroti peran krusial keluarga sebagai sistem pendukung utama bagi individu yang hidup dengan epilepsi.
Nurhaya, yang akrab disapa Aya, berbagi kisah perjalanan hidupnya yang dimulai sejak usia delapan tahun ketika ia didiagnosis menderita epilepsi setelah mengalami benturan kepala. Sebelum mendapatkan perawatan medis yang tepat dari dokter spesialis saraf, keluarga Aya sempat mencoba berbagai pengobatan alternatif. Namun, pengobatan modern lah yang akhirnya memberikan perubahan signifikan dalam hidupnya. Pengalamannya sebelum mendapatkan perawatan medis yang tepat menggambarkan perjuangan berat yang dihadapi banyak ODE yang kerap menghadapi cemoohan dan pengucilan sosial.
Stigma dan Diskriminasi:
Aya mengenang masa sulitnya ketika ia masih bersekolah dasar. Penurunan prestasi akademis akibat epilepsinya justru memperparah stigma yang ia terima. Teman-temannya menjauhinya, takut tertular, dan berbagai ejekan terus menerus mengiringi hari-harinya. Bahkan, ada tetangga yang melarang anak-anak mereka bermain bersamanya karena ketakutan yang tidak berdasar. Stigma ini menunjukkan pentingnya upaya edukasi yang lebih gencar tentang epilepsi, yang jelas bukan penyakit menular maupun menurun. Ketakutan dan kesalahpahaman ini membuat ODE seperti Aya mengalami isolasi sosial dan mental.
Peran Keluarga sebagai Sistem Pendukung:
Namun, di tengah keterpurukan, keluarga Aya menjadi benteng pertahanan yang kokoh. Dukungan moral, mental, dan psikologis yang diberikan orangtuanya menjadi kunci bagi Aya untuk bangkit dan berjuang. Orangtuanya selalu menyemangatinya untuk tetap tegar, menghadapi ejekan dengan kepala tegak, dan membuktikan bahwa epilepsi tidak menghalangi seseorang untuk meraih prestasi. Dukungan keluarga ini menjadi faktor penentu keberhasilan Aya dalam melanjutkan pendidikan hingga jenjang S3, meskipun ia tetap mengonsumsi obat secara teratur dan sesekali masih mengalami kejang akibat kelelahan.
Strategi Menghadapi Tantangan:
Selain dukungan keluarga, Aya juga aktif mengedukasi lingkungan sekitarnya tentang epilepsi. Ia mencari informasi dan strategi belajar yang efektif, menemukan bahwa gaya belajar auditori lebih cocok baginya. Ketekunan dan usahanya membuktikan bahwa dengan dukungan dan strategi yang tepat, ODE dapat hidup produktif dan berprestasi. Kisah Aya menjadi inspirasi bagi banyak ODE dan keluarganya untuk tidak menyerah pada tantangan, dan terus berjuang untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Kesimpulan:
Kisah Aya menggarisbawahi pentingnya dukungan keluarga sebagai pilar utama bagi kesembuhan dan kualitas hidup ODE. Edukasi publik yang memadai, serta penerimaan dan empati dari lingkungan sekitar sangat diperlukan untuk mengurangi stigma dan diskriminasi yang dihadapi oleh ODE. Dukungan sistemik dari berbagai pihak, mulai dari keluarga, tenaga medis, hingga pemerintah, sangat krusial dalam membantu ODE untuk hidup mandiri, produktif, dan berbahagia.