Praktik Sunat Perempuan di Indonesia: Antara Tradisi, Kesehatan, dan Regulasi
Praktik Sunat Perempuan di Indonesia: Antara Tradisi, Kesehatan, dan Regulasi
Indonesia masih bergelut dengan praktik Pelukaan atau Pemotongan Genitalia Perempuan (P2GP), atau yang lebih dikenal sebagai sunat perempuan. Meskipun telah dilarang secara resmi, praktik ini masih berlangsung di berbagai wilayah, dipicu oleh beragam faktor budaya, sosial, dan kepercayaan yang tertanam kuat dalam masyarakat. Laporan terbaru menunjukkan prevalensi yang mengkhawatirkan, menuntut aksi nyata dari berbagai pihak untuk menghapuskan praktik berbahaya ini.
Prevalensi dan Dampak Kesehatan yang Mengancam
Data dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 menunjukkan penurunan angka prevalensi sunat perempuan, dari 55% pada tahun 2021 menjadi 46,3% pada tahun 2024. Namun, penurunan ini dinilai belum signifikan dan masih jauh dari target Sustainable Development Goals (SDGs) 5.3.2. Angka ini mewakili puluhan juta perempuan Indonesia yang telah mengalami P2GP, mencerminkan luasnya permasalahan yang perlu ditangani. Data global dari UNICEF 2024 juga menunjukkan angka yang mengkhawatirkan, dengan lebih dari 230 juta perempuan dan anak perempuan di dunia telah menjadi korban P2GP.
Dampak kesehatan dari sunat perempuan sangat serius dan beragam, mulai dari komplikasi jangka pendek seperti perdarahan, infeksi, hingga komplikasi jangka panjang yang lebih serius. Hal ini mencakup gangguan fungsi reproduksi, masalah seksual, dan gangguan psikologis. Dr. Fabiola Tazrina Tazir, Direktur Bina Kesehatan Reproduksi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA)/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), menekankan dampak signifikan terhadap sensasi seksual perempuan akibat kerusakan jaringan saraf di area klitoris. Testimoni dari para korban, seperti Melody dan Karin, menunjukkan dampak traumatis baik secara fisik maupun mental yang dialami akibat praktik ini.
Upaya Pemerintah dan Tantangan Implementasi
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang secara tegas melarang praktik sunat perempuan. Larangan ini tertuang dalam Pasal 102 huruf a, menetapkan bahwa upaya kesehatan reproduksi harus mencakup penghapusan praktik ini. Namun, tantangan dalam implementasi regulasi ini cukup besar. Faktor budaya yang kuat dan kurangnya sosialisasi yang efektif menjadi hambatan utama.
Dessy Andriani, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, mengungkapkan perlunya pendekatan multisektoral dan kolaborasi yang kuat antara berbagai pemangku kepentingan untuk mengatasi permasalahan ini secara komprehensif. Pendekatan yang holistik, melibatkan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh agama, diperlukan untuk mengubah persepsi masyarakat dan memastikan keberhasilan implementasi regulasi yang ada.
Peran Tokoh Agama dan Edukasi Masyarakat
Salah satu temuan penting dari penelitian Komnas Perempuan bersama PSKK UGM pada 2017 menunjukkan bahwa 92% praktik sunat perempuan di Indonesia dipengaruhi oleh pemahaman agama. Hal ini menyoroti pentingnya peran tokoh agama dalam memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran agama dan menepis miskonsepsi yang dapat memicu praktik P2GP. Edukasi yang komprehensif dan berkelanjutan kepada masyarakat, terutama di daerah dengan prevalensi sunat perempuan yang tinggi, sangat krusial untuk mengubah perilaku dan membangun kesadaran akan bahaya praktik ini.
Kesimpulannya, penghapusan praktik sunat perempuan di Indonesia membutuhkan upaya yang terpadu dan berkelanjutan. Peran pemerintah dalam penegakan hukum, upaya edukasi masyarakat yang masif, serta kolaborasi aktif dari berbagai pihak menjadi kunci keberhasilan dalam melindungi kesehatan dan hak-hak perempuan Indonesia.