Kekurangan Hakim di Peradilan Umum: Tantangan MA dalam Menangani Lonjakan Kasus
Kekurangan Hakim di Peradilan Umum: Tantangan MA dalam Menangani Lonjakan Kasus
Mahkamah Agung (MA) menghadapi tantangan serius dalam memenuhi kebutuhan hakim di peradilan umum. Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA, Bambang M. Yanto, mengungkapkan adanya kekurangan sekitar 2.000 hakim dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI di Jakarta, Kamis (13/3/2025). Kekurangan ini berdampak signifikan pada efisiensi dan efektivitas sistem peradilan, khususnya dalam menangani lonjakan kasus yang terus meningkat. Kondisi ini diperparah oleh sistem rekrutmen hakim yang belum terjadwal secara konsisten.
Saat ini, total hakim peradilan umum berjumlah 4.610 orang, yang terdiri dari:
- 3.410 hakim karir tingkat pertama
- 752 hakim karir tingkat banding
- 102 hakim adhoc tipikor tingkat banding
- 8 hakim adhoc HAM
- 41 hakim adhoc perikanan
- 163 hakim adhoc tipikor tingkat pertama
- 134 hakim adhoc PHI
Para hakim tersebut tersebar di 416 pengadilan, yang meliputi 34 pengadilan tinggi dan 382 pengadilan tingkat pertama. Namun, kebutuhan hakim jauh melebihi jumlah yang tersedia. Analisis kebutuhan menunjukkan kekurangan hakim sebagai berikut:
- Pengadilan Tinggi tipe A dan B: 79 hakim
- Pengadilan Negeri kelas IA khusus: 196 hakim
- Pengadilan Negeri kelas IA: 659 hakim
- Pengadilan Negeri kelas IB: 965 hakim
- Pengadilan Negeri kelas II: 1.021 hakim
Meskipun saat ini terdapat 925 calon hakim yang sedang menjalani pendidikan dan pelatihan, kekurangan hakim masih diperkirakan mencapai 2.000 orang. Bambang menjelaskan bahwa permasalahan ini disebabkan oleh sistem rekrutmen yang tidak terjadwal, mengakibatkan periode penerimaan hakim di beberapa wilayah mencapai 5 hingga 7 tahun. Kondisi ini menimbulkan kekosongan pangkat dan kesulitan dalam mengisi posisi di pengadilan, terutama di pengadilan tingkat II yang membutuhkan hakim dengan pangkat golongan III C.
Lebih lanjut, Bambang juga menjelaskan bahwa penempatan hakim juga mempertimbangkan faktor gender. Hakim wanita cenderung ditempatkan di daerah yang tidak terpencil, jauh, dan rawan konflik. Minimnya jumlah hakim juga berdampak pada beban kerja yang berat bagi hakim yang ada, berpotensi menurunkan kualitas putusan dan memperlambat proses penyelesaian perkara. Oleh karena itu, diperlukan solusi komprehensif dan terencana untuk mengatasi masalah kekurangan hakim ini, termasuk penjadwalan rekrutmen yang lebih terstruktur dan peningkatan jumlah calon hakim yang dilatih setiap tahunnya. Hal ini menjadi penting untuk menjaga integritas dan efektivitas sistem peradilan Indonesia.