Penyeragaman Kemasan Rokok: Ancaman bagi Industri dan Konsumen, Klaim Gaprindo
Penyeragaman Kemasan Rokok: Ancaman bagi Industri dan Konsumen, Klaim Gaprindo
Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) melontarkan kritik tajam terhadap rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait penyeragaman kemasan rokok atau plain packaging dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Kebijakan yang kontroversial ini, menurut Gaprindo, akan memaksa seluruh produk rokok untuk menggunakan kemasan seragam, mulai dari ukuran dan warna hingga jenis huruf dan tata letak merek. Aturan ini bahkan mensyaratkan penggunaan font Arial dan kode warna Pantone 448C untuk seluruh kemasan, menghapus identitas visual merek yang selama ini menjadi ciri khas masing-masing produk.
Ketua Umum Gaprindo, Benny Wachjudi, menyatakan keprihatinannya atas rencana tersebut. Ia berpendapat bahwa kebijakan ini menghilangkan identitas produk dan merugikan produsen. Lebih lanjut, Wachjudi mempertanyakan dasar hukum rencana tersebut, mengingat Indonesia belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang menjadi rujukan utama kebijakan plain packaging di banyak negara. "Penyeragaman kemasan rokok ini, yang mengacu pada FCTC yang tidak diratifikasi pemerintah Indonesia, tidak memiliki dasar hukum yang kuat," tegas Benny dalam keterangan tertulisnya, Minggu (2/3/2025).
Wachjudi juga menekankan bahwa tembakau merupakan produk legal di Indonesia, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.71/PUU-XI/2013. Aturan plain packaging, menurutnya, bukan hanya membatasi hak promosi dan iklan, tetapi juga menempatkan rokok sebagai produk ilegal. Lebih jauh, ia menuding kebijakan ini melanggar hak konsumen untuk mendapatkan informasi produk yang akurat dan memilih sesuai preferensi mereka. Gaprindo mengingatkan Kemenkes untuk mempertimbangkan dampak luas dari aturan ini, termasuk potensi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
"Kebijakan ini akan merampas hak produsen atas merek dagangnya, hak cipta, dan reputasi yang telah dibangun selama puluhan tahun," jelas Wachjudi. Ia menambahkan bahwa plain packaging akan menghambat komunikasi produsen dengan konsumen dewasa, menyulitkan diferensiasi produk, dan berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal. Dengan hilangnya identitas merek, konsumen akan kesulitan membedakan rokok legal dan ilegal, yang berujung pada penurunan penjualan rokok legal dan kerugian bagi pekerja, petani tembakau, peritel, dan industri kreatif.
Gaprindo juga memperingatkan bahwa maraknya rokok ilegal akan berdampak buruk pada penerimaan negara. Industri tembakau berkontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, mencapai 4,22%, dan penerimaan cukai hasil tembakau pada tahun 2024 mencapai angka fantastis Rp216,9 triliun atau 72 persen dari total penerimaan kepabeanan dan cukai. Wachjudi menyimpulkan bahwa ketidakmampuan menggunakan merek secara penuh akan menghambat persaingan, terutama bagi produk baru dan industri kecil menengah. "Ketidakmampuan menggunakan merek secara penuh akan menyulitkan industri untuk membedakan produknya dari yang lain ke konsumen, sehingga sulit untuk bisa bersaing," tutupnya.