Akses Transplantasi Ginjal di Indonesia: Tantangan dan Upaya Pemerintah
Akses Transplantasi Ginjal di Indonesia: Tantangan dan Upaya Pemerintah
Transplantasi ginjal, prosedur medis yang telah terbukti meningkatkan kualitas hidup dan harapan hidup pasien gagal ginjal tahap akhir, masih menghadapi berbagai kendala signifikan di Indonesia. Meskipun diakui sebagai terapi standar di negara-negara maju, akses terhadap transplantasi ginjal di Indonesia sangat terbatas, dengan hanya sekitar satu persen dari pasien gagal ginjal yang mendapatkannya. Keterbatasan ini dipicu oleh beberapa faktor kunci, termasuk jumlah pusat transplantasi ginjal yang masih terbatas, kurangnya tenaga ahli yang terlatih, dan kesulitan dalam mendapatkan donor organ yang sesuai.
Pemerintah, melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Kementerian Kesehatan, telah berupaya meningkatkan aksesibilitas terhadap transplantasi ginjal. Pada tahun 2024, BPJS Kesehatan menjamin 132 tindakan transplantasi ginjal, meningkat 43 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk meningkatkan cakupan layanan kesehatan, khususnya untuk prosedur medis yang menyelamatkan jiwa seperti transplantasi ginjal. Lebih lanjut, pemerintah berencana menambah jumlah pusat transplantasi ginjal dari 17 menjadi 19, sebuah strategi yang dianggap lebih efektif secara biaya dibandingkan dengan perawatan cuci darah seumur hidup.
Namun, tantangan masih tetap ada. Salah satu kendala utama yang dihadapi pasien pasca-transplantasi adalah akses terhadap obat imunosupresan, khususnya takrolimus originator. Obat ini sangat penting untuk mencegah penolakan organ oleh tubuh pasien. Namun, karena efisiensi anggaran, takrolimus originator tidak lagi ditanggung sepenuhnya oleh BPJS Kesehatan sejak pertengahan 2024, dan pasien diarahkan untuk menggunakan jenis non-originator. Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena potensi efek samping dan penurunan efikasi obat non-originator, seperti yang ditunjukkan oleh survei Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) terhadap 23 pasien transplantasi ginjal. Survei tersebut menunjukkan penurunan kadar takrolimus pada 74 persen pasien, peningkatan kadar kreatinin pada 39 persen pasien (dengan 13 persen di atas batas normal), dan efek samping pada lebih dari separuh pasien yang menggunakan takrolimus non-originator.
Penurunan kadar takrolimus dapat memicu reaksi penolakan akut terhadap ginjal yang baru ditransplantasikan, yang jika tidak ditangani segera dapat menyebabkan kegagalan transplantasi dan mengharuskan pasien kembali menjalani dialisis. Kondisi ini tentu akan menambah beban biaya kesehatan secara keseluruhan dan membatalkan manfaat dari transplantasi ginjal itu sendiri. Meskipun obat imunosupresan seperti takrolimus telah terdaftar dalam formularium nasional, masalah harga dan keterjangkauan masih menjadi penghalang utama. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa takrolimus originator memiliki harga yang terlalu tinggi untuk ditanggung sepenuhnya oleh BPJS Kesehatan, dan pasien yang menginginkan obat tersebut harus menanggung selisih harga secara mandiri atau melalui asuransi swasta.
Kesimpulannya, peningkatan akses terhadap transplantasi ginjal di Indonesia membutuhkan upaya multi-sektoral yang komprehensif. Selain meningkatkan jumlah pusat transplantasi dan tenaga ahli, pemerintah perlu memastikan ketersediaan obat imunosupresan berkualitas dengan harga yang terjangkau bagi seluruh pasien. Pendekatan yang terintegrasi dan berkelanjutan, yang melibatkan pemerintah, rumah sakit, asuransi kesehatan, dan organisasi pasien, sangat diperlukan untuk mengatasi tantangan ini dan memastikan bahwa transplantasi ginjal dapat menjadi pilihan pengobatan yang layak dan terjangkau bagi semua pasien gagal ginjal tahap akhir di Indonesia.
Berikut beberapa poin penting yang perlu diperhatikan:
- Keterbatasan akses: Hanya 1% pasien gagal ginjal di Indonesia yang mendapatkan transplantasi ginjal.
- Jumlah pusat transplantasi terbatas: Hanya 17 rumah sakit yang memiliki fasilitas transplantasi ginjal.
- Peran BPJS Kesehatan: Menjamin 132 tindakan transplantasi ginjal di tahun 2024, meningkat 43% dari tahun sebelumnya.
- Rencana penambahan pusat transplantasi: Pemerintah berencana menambah pusat transplantasi ginjal menjadi 19.
- Tantangan obat imunosupresan: Kekurangan dan mahalnya takrolimus originator menimbulkan masalah bagi pasien.
- Efek samping obat non-originator: Survei KPCDI menunjukkan efek samping yang signifikan pada pasien yang menggunakan takrolimus non-originator.
- Pentingnya takrolimus originator: Penting untuk mencegah penolakan organ dan kegagalan transplantasi.
- Peran Formularium Nasional: Takrolimus sudah terdaftar, tetapi masalah harga menjadi kendala.