Krisis Personel Bundeswehr: Tantangan Rekrutmen dan Dampaknya pada Keamanan Jerman
Krisis Personel Bundeswehr: Tantangan Rekrutmen dan Dampaknya pada Keamanan Jerman
Kekurangan personel yang signifikan di Bundeswehr, angkatan bersenjata Jerman, menimbulkan kekhawatiran serius terhadap kesiapsiagaan dan kemampuan pertahanan negara. Laporan tahunan Bundeswehr 2024 yang baru-baru ini dirilis mengungkap fakta pahit: dari target 203.000 personel, jumlah tentara aktif hanya mencapai sekitar 181.000. Komisioner Parlemen Jerman untuk urusan pertahanan, Eva Hgl, menekankan urgensi masalah ini, terutama dalam konteks geopolitik global yang semakin tidak stabil. "Lebih penting dari sebelumnya bagi kita untuk memiliki Bundeswehr yang beroperasi penuh," tegas Hgl, menyoroti disonansi antara peningkatan peralatan militer dan penurunan jumlah personel yang signifikan. Bundeswehr, menurut Hgl, "menyusut dan semakin tua", sebuah tren yang harus segera dihentikan dan dibalik.
Upaya rekrutmen intensif telah dilakukan, termasuk kampanye iklan besar-besaran dan peningkatan penggunaan media sosial untuk menampilkan kehidupan sehari-hari para prajurit. Meskipun jumlah pelamar meningkat di tahun 2024, angka resignasi yang tinggi tetap menjadi kendala utama. Data menunjukkan bahwa satu dari empat rekrutan meninggalkan Bundeswehr dalam enam bulan pertama masa tugas. Hgl mengidentifikasi beberapa faktor penyebab tingginya angka resignasi. Salah satunya adalah kesulitan dalam memenuhi permintaan para rekrutan untuk ditempatkan di dekat kota asal mereka. Faktor lain yang signifikan adalah soal kontrak kerja, di mana banyak rekrutan tidak dapat mendapatkan perpanjangan kontrak atau penempatan yang sesuai dengan keinginan mereka karena keterbatasan posisi yang tersedia. "Kita kehilangan banyak orang baik," sesal Hgl, menekankan kebutuhan mendesak untuk meningkatkan jumlah personel secara signifikan.
Pembahasan mengenai pemberlakuan kembali wajib militer sebagai solusi pun muncul. Namun, Hgl menolak ide ini, mengingat Bundeswehr saat ini tidak memiliki kapasitas untuk menampung dan melatih gelombang besar wajib militer baru. "Itu akan membuat Bundeswehr kewalahan. Tidak cukup ruangan, tidak cukup peralatan, dan yang paling penting, tidak cukup instruktur," jelas Hgl. Sebagai alternatif, Hgl mengusulkan program "tahun sosial" wajib bagi kaum muda, yang dapat ditempuh baik di Bundeswehr maupun lembaga sosial lainnya. Sebagai pilihan lain, ia mendukung rencana Menteri Pertahanan Boris Pistorius yang menekankan pada rekrutmen sukarela dengan seleksi ketat melalui kuesioner. Namun, bubarnya pemerintahan koalisi baru-baru ini telah menghambat implementasi berbagai rencana strategis.
Laporan tahunan setebal 183 halaman tersebut juga menyingkap berbagai kekurangan infrastruktur, termasuk kondisi barak yang memprihatinkan, seperti ruangan yang ditumbuhi jamur. "Kami memiliki barak di mana orang mendapat kesan seolah-olah tidak terjadi apa-apa selama puluhan tahun," ungkap Hgl. Anggaran tambahan yang dialokasikan untuk militer, menurutnya, harus diprioritaskan untuk merekrut dan melatih personel serta memperbaiki infrastruktur, bukan hanya untuk pengadaan senjata. Penguatan Bundeswehr, dalam konteks keraguan atas komitmen Amerika Serikat terhadap NATO, memainkan peran krusial dalam negosiasi koalisi antara CDU/CSU dan SPD untuk membentuk pemerintahan baru.
Sebagai komisioner parlemen, Hgl berkomitmen untuk memastikan perlindungan hak-hak dasar para prajurit. Ia menyelidiki keluhan dan melakukan kunjungan mendadak ke berbagai unit militer. Sistem pengaduan langsung kepada kantornya tanpa melibatkan atasan juga telah diimplementasikan, dan hasilnya sangat signifikan: sebanyak 2.467 petisi pribadi diterima kantornya di Berlin pada tahun 2024.
Kesimpulannya, krisis personel di Bundeswehr merupakan ancaman serius terhadap keamanan Jerman. Solusi yang komprehensif diperlukan, meliputi peningkatan daya tarik rekrutmen, perbaikan infrastruktur, dan strategi jangka panjang untuk memastikan angkatan bersenjata yang kuat dan efektif.