Kasus Pencabulan AKBP Fajar: Anggota DPR Pertanyakan Sistem Rekrutmen Polri

Kasus Pencabulan AKBP Fajar: Anggota DPR Pertanyakan Sistem Rekrutmen Polri

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Demokrat, Hinca Pandjaitan, menyoroti kasus pencabulan anak di bawah umur yang melibatkan AKBP Fajar Widyadharma Lukman, Kapolres Ngada non-aktif. Kejadian ini telah memicu pertanyaan mendalam terkait integritas dan proses rekrutmen di tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Hinca mengungkapkan kekhawatirannya atas lolosnya AKBP Fajar dalam proses seleksi, mengingat rekam jejaknya yang sebelumnya terjerat kasus pencabulan dan penyalahgunaan narkoba. Peristiwa ini, menurutnya, menjadi anomali yang memprihatinkan dan mencoreng citra Polri di mata internasional, khususnya setelah kasus tersebut mendapatkan perhatian dari otoritas Australia.

"Kasus ini bukan hanya sekadar pelanggaran kode etik, melainkan juga kejahatan yang sangat serius dan melanggar norma kemanusiaan," tegas Hinca saat ditemui di Gedung DPR, Kamis (13/3/2025). Ia menekankan bahwa perbuatan AKBP Fajar telah melukai hati masyarakat Indonesia dan menimbulkan keresahan yang mendalam, khususnya bagi keluarga korban dan anak-anak. Kejahatan yang dilakukan oleh seorang perwira polisi berpangkat tinggi ini, menurut Hinca, menunjukkan kelemahan sistem rekrutmen Polri yang perlu segera dievaluasi secara menyeluruh. "Dari hampir 480.000 personel Polri, kasus seperti ini sungguh memprihatinkan dan menjadi bukti adanya celah dalam proses seleksi yang perlu diperbaiki," imbuhnya.

Hinca mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk bertindak tegas dan segera memecat AKBP Fajar. Ia juga meminta agar proses hukum terhadap AKBP Fajar berjalan cepat dan transparan, tanpa mengabaikan hak-haknya sebagai warga negara. Namun, Hinca menekankan bahwa proses hukum tersebut tidak boleh mengabaikan substansi pelanggaran yang telah dilakukan dan dampaknya terhadap masyarakat. "Proses pemecatan dan penegakan hukum harus diprioritaskan, demi menjaga martabat dan kehormatan Polri di mata masyarakat," tegas Hinca. Ia menambahkan bahwa sanksi pemecatan tidak cukup, proses pidana juga harus dijalankan secara konsekuen dan tanpa kompromi.

Lebih lanjut, Hinca menyoroti perlunya reformasi menyeluruh dalam sistem rekrutmen Polri. Proses seleksi yang lebih ketat dan transparan, serta pemeriksaan latar belakang calon anggota yang lebih teliti, mutlak diperlukan untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang. Hal ini termasuk memperkuat pengawasan internal dan meningkatkan akuntabilitas seluruh personel Polri. "Kita perlu memastikan bahwa hanya individu-individu yang memiliki integritas tinggi dan bebas dari catatan kriminal yang dapat bergabung menjadi anggota Polri," pungkas Hinca. Ia berharap kasus ini dapat menjadi momentum untuk memperbaiki sistem rekrutmen dan meningkatkan profesionalisme anggota Polri agar dapat lebih optimal dalam melayani dan melindungi masyarakat.

Berikut poin-poin penting yang perlu diperhatikan terkait kasus ini:

  • Evaluasi Sistem Rekrutmen Polri: Proses rekrutmen perlu diperketat dan diperbaiki untuk mencegah masuknya calon anggota yang memiliki rekam jejak kriminal.
  • Penegakan Hukum yang Tegas: AKBP Fajar harus diproses secara hukum dan dihukum sesuai dengan perbuatannya.
  • Perbaikan Citra Polri: Kasus ini telah merusak citra Polri, sehingga perlu dilakukan upaya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
  • Perlindungan Anak: Kasus ini menjadi pengingat penting tentang perlunya perlindungan anak dari kejahatan seksual.
  • Transparansi dan Akuntabilitas: Proses hukum dan penindakan harus transparan dan akuntabel.