Kekurangan 6.290 Tenaga Panitera di Pengadilan Tinggi dan Negeri: Tantangan Sistem Peradilan Indonesia
Kekurangan 6.290 Tenaga Panitera di Peradilan Indonesia: Sebuah Ancaman Kinerja
Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Badilum) Mahkamah Agung (MA), Bambang Myanto, baru-baru ini mengungkapkan permasalahan serius yang tengah melanda sistem peradilan Indonesia: kekurangan 6.290 tenaga panitera di Pengadilan Tinggi (PT) dan Pengadilan Negeri (PN). Pernyataan ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI pada Kamis, 13 Maret 2025. Kekurangan ini berpotensi menghambat efisiensi dan efektivitas proses peradilan, serta menimbulkan beban kerja yang berlebihan bagi para petugas yang ada.
Berdasarkan data yang dipaparkan, jumlah panitera yang tersedia saat ini jauh dari ideal. Dari total kebutuhan 416 panitera di PT dan PN, hanya terdapat 405 orang, meninggalkan kekurangan sebanyak 11 orang. Situasi serupa juga terjadi pada posisi panitera muda, dengan kekurangan 126 orang dari total formasi 1.366. Namun, permasalahan yang paling kritis terletak pada kekurangan panitera pengganti, sebanyak 2.641 orang dari total kebutuhan 4.734. Hal ini berdampak signifikan, khususnya di daerah-daerah terpencil, di mana tugas panitera pengganti seringkali harus dirangkap oleh panitera muda yang sudah memiliki beban kerja yang berat.
Kekurangan juga signifikan ditemukan pada posisi juru sita. Dari total kebutuhan 1.494 juru sita, saat ini hanya tersedia 753 orang, meninggalkan kekurangan sebanyak 741 orang. Situasi serupa terjadi pada juru sita pengganti, dengan kekurangan sebanyak 2.771 orang dari total kebutuhan 3.510 orang. Kekurangan sumber daya manusia ini mencerminkan adanya disproporsi yang signifikan antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga pendukung di lingkungan peradilan.
Bambang Myanto menjelaskan bahwa kekurangan tenaga panitera ini disebabkan oleh beberapa faktor. Setiap tahunnya, rata-rata 500 panitera meninggalkan jabatan mereka karena berbagai alasan, seperti pensiun, meninggal dunia, sanksi disiplin, atau pengunduran diri. Lebih lanjut, Bambang menuturkan bahwa proses pengadaan pegawai di lingkungan peradilan saat ini lebih memprioritaskan posisi hakim. Hal ini mengakibatkan minimnya kesempatan bagi calon panitera untuk bergabung, memperparah kondisi yang sudah kritis.
Selain itu, rendahnya tunjangan jabatan juga menjadi faktor pendorong tingginya angka pengunduran diri. Tunjangan panitera pengganti hanya Rp 300.000, panitera muda Rp 360.000, dan panitera Rp 540.000. Besaran tunjangan ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan posisi lain di kesekretariatan, sehingga mengurangi daya tarik jabatan panitera. Kondisi ini menunjukan perlunya peninjauan kembali sistem penggajian dan kesejahteraan bagi tenaga pendukung di lingkungan peradilan untuk meningkatkan minat dan mempertahankan sumber daya manusia yang kompeten.
Kesimpulannya, kekurangan tenaga panitera merupakan tantangan serius yang harus segera diatasi oleh Mahkamah Agung dan pemerintah. Perlu ada strategi yang komprehensif, termasuk peningkatan gaji dan tunjangan, perekrutan yang lebih efektif, dan penataan sistem kerja yang lebih efisien untuk memastikan berjalannya sistem peradilan yang efektif dan berkeadilan.