Lonjakan Kasus Gangguan Jiwa di Sikka: Tantangan Layanan Kesehatan Mental di NTT

Lonjakan Kasus Gangguan Jiwa di Sikka: Tantangan Layanan Kesehatan Mental di NTT

Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), tengah menghadapi peningkatan signifikan kasus orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Data Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka mencatat jumlah ODGJ mencapai angka 1.220 orang pada tahun 2024, meningkat drastis dari 858 orang pada tahun 2020. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Sikka, Petrus Herlemus, mengungkapkan keprihatinan atas lonjakan ini yang menunjukkan tren peningkatan kasus selama lima tahun terakhir. Data menunjukan peningkatan bertahap: 1.093 kasus pada 2021, 1.122 kasus pada 2022, dan 1.179 kasus pada 2023. Proyeksi untuk tahun ini pun diprediksi akan menunjukkan peningkatan lebih lanjut.

Lebih mengkhawatirkan lagi, sebanyak 1.045 dari total ODGJ tersebut tergolong dalam kategori berat. Meskipun 574 orang telah mendapatkan layanan kesehatan sesuai standar, masih terdapat 471 ODGJ kategori berat yang belum mendapatkan akses perawatan memadai. Hal ini menunjukkan bahwa hanya 54,9 persen dari ODGJ berat yang mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkan, jauh dari target ideal 100 persen. Kondisi ini semakin diperparah oleh kurangnya akses layanan bagi ODGJ di daerah terpencil dan tertinggal. Faktor-faktor seperti ketiadaan kartu identitas (KTP) dan kartu jaminan kesehatan (JKN) menjadi kendala utama dalam mengakses layanan kesehatan.

Herlemus juga mencatat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan kasus ODGJ ini. Ia mengungkapkan adanya kasus ODGJ yang dipicu oleh kegagalan dalam pemilihan legislatif dan kepala desa. Lebih lanjut, Herlemus menjelaskan bahwa latar belakang pendidikan para penderita gangguan jiwa ini beragam, mulai dari pendidikan menengah ke bawah hingga menengah ke atas. Ini mengindikasikan bahwa gangguan jiwa bukanlah masalah yang hanya terjadi pada kelompok masyarakat tertentu saja. Selain itu, permasalahan lain yang dihadapi dalam penanganan ODGJ di Sikka antara lain:

  • Kurangnya Tim Pemantauan Minum Obat (PMO): Ketiadaan tim ini menjadi kendala dalam memastikan kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obat-obatan yang diresepkan.
  • Stigma Sosial: Stigma negatif dari keluarga dan masyarakat terhadap ODGJ masih menjadi penghalang utama dalam penanganan dan pemulihan.
  • Keterbatasan Anggaran: Keterbatasan anggaran menjadi kendala utama dalam menyediakan layanan kesehatan mental yang memadai dan menyeluruh.
  • Minimnya Dukungan Pemerintah Desa: Kurangnya dukungan dari pemerintah desa dalam menyediakan rumah aman bagi keluarga tidak mampu menjadi kendala lainnya.
  • Ketelantaran Keluarga: Kasus ketelantaran oleh keluarga juga menjadi salah satu faktor yang memperburuk kondisi ODGJ.
  • Kasus Pemasungan: Tercatat 48 kasus ODGJ yang masih dipasung, dengan 7 kasus diantaranya dipasung menggunakan kayu, menunjukkan masih adanya praktik-praktik yang tidak manusiawi dalam penanganan ODGJ.

Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka, meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan, berkomitmen untuk terus berupaya dalam memberikan layanan kesehatan mental kepada para ODGJ. Kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan Rumah Sakit Sta Elisabeth Lela menjadi kunci dalam menangani permasalahan ini. Namun demikian, upaya yang lebih komprehensif dan dukungan pemerintah yang lebih besar dibutuhkan untuk mengatasi masalah kesehatan mental di Kabupaten Sikka dan Nusa Tenggara Timur secara berkelanjutan. Perlu adanya peningkatan kesadaran masyarakat dan upaya pengurangan stigma terhadap ODGJ agar penanganan kasus ini dapat lebih efektif dan humanis.