Pemilu Ulang Serang: Tantangan Fiskal dan Ancaman Stabilitas Demokrasi
Pemilu Ulang Serang: Tantangan Fiskal dan Ancaman Stabilitas Demokrasi
Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten Serang, Banten, pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pilkada 2024, menimbulkan permasalahan kompleks yang mengancam stabilitas demokrasi dan keuangan daerah. Biaya PSU yang membengkak hingga Rp 45 miliar, jauh melebihi sisa anggaran hibah sebesar Rp 8,6 miliar, memaksa Pemerintah Kabupaten Serang untuk melakukan penghematan drastis pada program-program sosial vital seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Belanja Tidak Terduga. Situasi ini menjadi sorotan tajam mengenai efisiensi dan prioritas anggaran publik, terutama mengingat total biaya PSU di 24 daerah lain diperkirakan mencapai hampir Rp 1 triliun. Keputusan MK yang memberikan tenggat waktu 60 hari bagi KPU untuk menyelenggarakan PSU juga memicu sejumlah kendala operasional yang signifikan.
Jadwal yang mepet memaksa KPU menggunakan Data Pemilih Tetap (DPT) lama tanpa pembaruan, menghilangkan tahapan kampanye, dan berpotensi mengurangi partisipasi pemilih. Distribusi logistik juga menjadi tantangan besar, dengan risiko keterlambatan dan kesalahan teknis yang dapat mengganggu kelancaran proses pemungutan suara. Lebih jauh lagi, PSU di Kabupaten Serang dinilai jauh lebih rawan konflik dibandingkan Pilkada Serentak 2024. Bawaslu mencatat potensi konflik yang lebih tinggi, dengan ancaman manipulasi suara dan pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) yang signifikan.
- Ancaman terhadap Integritas Pemilu: Bawaslu Kabupaten Serang telah mencatat 37 kasus pelanggaran selama Pilkada Serentak 2024, mulai dari politik uang hingga pelanggaran netralitas ASN. Dengan jadwal PSU yang semakin dekat, potensi meningkatnya pelanggaran ini sangat mengkhawatirkan. Ketua Bawaslu, Furqon, menekankan perlunya pengawasan ekstra ketat, terutama mengingat temuan keterlibatan kepala desa dalam mendukung calon tertentu secara masif, yang merupakan pelanggaran Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Netralitas ASN menjadi isu krusial, mengingat tujuh kasus pelanggaran netralitas ASN di Banten telah tercatat dalam Pilkada sebelumnya, termasuk penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye.
- Dampak Sosial dan Politik: Putusan MK telah memperkeruh suasana politik, memicu ketegangan antarpendukung, terutama dengan keterlibatan Menteri Desa Yandri Susanto yang mendukung istrinya, Ratu Rachmatuzakiyah, dalam kontestasi Pilkada. Polarisasi yang tajam antara kubu Ratu-Najib dan Andika-Nanang telah meluas hingga ke tingkat akar rumput, meningkatkan risiko konflik horizontal yang sulit dikendalikan. Temuan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dilakukan oleh kepala desa menggarisbawahi bahaya intervensi pejabat publik terhadap demokrasi lokal.
- Konsekuensi jangka panjang: PSU di Kabupaten Serang menyebabkan masa jabatan kepala daerah terpilih menjadi lebih pendek dari lima tahun, sesuai Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Nomor 10 Tahun 2016. Hal ini memaksa kepala daerah untuk bekerja ekstra keras dalam mengejar target pembangunan, sementara transisi pemerintahan yang berulang mengganggu stabilitas birokrasi. Pengalihan anggaran yang signifikan untuk PSU juga berdampak pada pengurangan anggaran program sosial, memicu kritik publik. KPU dan Bawaslu memiliki peran krusial dalam menjaga pemilu yang jujur dan adil. Peningkatan profesionalisme penyelenggara pemilu, melalui pelatihan intensif dan pengawasan yang ketat, menjadi prioritas utama. Bawaslu menekankan perlunya evaluasi kinerja pengawas dan pelatihan berbasis kebutuhan lokal, sementara KPU RI memperkuat supervisi terhadap KPU daerah untuk memastikan semua tahapan pemilu berjalan sesuai aturan.
- Rekomendasi dan Kesimpulan: Pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap netralitas ASN, melalui sosialisasi sanksi hukum dan penegakan hukum yang tegas, perlu ditekankan. Edukasi politik yang masif juga diperlukan untuk mencegah konflik dan menjaga pemilu yang bersih. Revisi UU Pemilu 2017 juga mendesak dilakukan untuk memperketat aturan pencalonan, pengawasan, dan sanksi pelanggaran, guna menutup celah kecurangan dan mencegah pemilu ulang yang berbiaya tinggi dan berdampak negatif terhadap stabilitas demokrasi dan kesejahteraan masyarakat.