Uji Materi UU Jaminan Produk Halal: Pembatasan Hak Konsumen dan Potensi Diskriminasi Dipertanyakan di MK
Uji Materi UU Jaminan Produk Halal: Pembatasan Hak Konsumen dan Potensi Diskriminasi Dipertanyakan di MK
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pada Kamis, 13 Februari 2025, atas gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Gugatan diajukan oleh dua pemohon, Kiki Supardji, seorang wiraswasta asal Jawa Timur, dan Andy Savero, seorang tabib asal Jakarta Utara. Mereka mempersoalkan sejumlah pasal dalam UU JPH yang dinilai membatasi hak konsumen dan berpotensi diskriminatif serta melanggar prinsip-prinsip keadilan dan persaingan usaha yang sehat.
Para pemohon, yang diwakili oleh kuasa hukum Yonathan Ambat Eka, berargumen bahwa kewajiban sertifikasi halal untuk semua produk yang beredar di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU JPH, merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Mereka menekankan bahwa kata “wajib” dalam konteks tersebut terlalu inklusif dan tidak mempertimbangkan keberagaman keyakinan di Indonesia. Menurut pemohon, aturan ini seharusnya hanya berlaku bagi umat Islam yang tunduk pada aturan halal-haram, bukan untuk seluruh penduduk Indonesia tanpa terkecuali. Penerapan aturan ini, menurut mereka, merupakan bentuk diskriminasi terhadap konsumen non-muslim dan pelaku usaha dengan latar belakang keyakinan yang berbeda.
Selain itu, gugatan juga menyoroti Pasal 10 ayat (1) UU JPH yang mengatur penyelenggaraan sertifikasi halal melalui kerjasama Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pemohon menilai kerjasama ini berpotensi menimbulkan monopoli dan menghambat persaingan usaha yang sehat, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Beberapa pasal lain yang dipersoalkan meliputi:
- Pasal 14 ayat (1) terkait auditor halal;
- Pasal 17 terkait bahan baku;
- Pasal 26 terkait kewajiban mencantumkan keterangan “tidak halal” pada produk;
- Pasal 48 terkait pengenaan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang tidak melakukan registrasi sertifikasi halal.
Para pemohon berpendapat bahwa seluruh pasal yang dipersoalkan bertentangan dengan beberapa pasal dalam UUD 1945 dan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap pelaku usaha, khususnya bagi mereka yang bukan beragama Islam. Mereka juga menuding UU JPH telah secara universal menerapkan standar agama tertentu tanpa mempertimbangkan keragaman keyakinan di Indonesia, sehingga melanggar prinsip keadilan sosial.
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan mereka secara keseluruhan, menyatakan UU JPH bertentangan dengan Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Undang-Undang Anti Monopoli, dan Undang-Undang Rahasia Dagang, serta mencabut atau membatalkan keseluruhan UU JPH. Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan didampingi oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Arsul Sani. Hakim Enny Nurbaningsih memberikan nasihat terkait penyusunan sistematika permohonan yang belum sepenuhnya memenuhi ketentuan Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021.
Perkara ini, terdaftar dengan nomor 17/PUU-XXIII/2025, kini menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi yang akan menentukan nasib Undang-Undang Jaminan Produk Halal dan implikasinya bagi konsumen dan pelaku usaha di Indonesia.