Kekhawatiran Komisi III DPR terhadap Kemudahan Pemanggilan Hakim Agung oleh Aparat Penegak Hukum

Kekhawatiran Komisi III DPR terhadap Kemudahan Pemanggilan Hakim Agung oleh Aparat Penegak Hukum

Anggota Komisi III DPR RI, Habiburokhman, baru-baru ini menyoroti praktik pemanggilan hakim agung oleh aparat penegak hukum (APH) di Indonesia. Dalam rapat dengar pendapat dengan Mahkamah Agung (MA) pada Kamis, 13 Maret 2025, Habiburokhman mengungkapkan keprihatinannya atas kemudahan akses APH terhadap hakim agung tanpa melalui mekanisme internal terlebih dahulu. Ia membandingkan praktik tersebut dengan negara-negara lain di mana hakim agung menempati posisi yang sangat terhormat dan dilindungi oleh mekanisme advokasi internal yang kuat sebelum adanya proses hukum eksternal.

Politisi Partai Gerindra ini menekankan perbedaan signifikan antara praktik di Indonesia dan di luar negeri. Di beberapa negara, jabatan hakim agung bahkan lebih dihormati dibandingkan kepala negara. Habiburokhman berpendapat, perlunya sebuah mekanisme internal yang melibatkan advokasi untuk melindungi integritas dan independensi hakim agung. Hal ini, menurutnya, bukan untuk menghalangi penegakan hukum, melainkan untuk memperkuat pengawasan internal MA dan memastikan integritas sistem peradilan tetap terjaga. Ia menegaskan bahwa tujuannya bukanlah untuk menghambat proses hukum jika memang ada dugaan pelanggaran, namun untuk memastikan adanya proses yang lebih terukur dan terlindungi secara internal sebelum melibatkan APH.

"Kita perlu memperkuat mekanisme pengawasan internal di MA. Bukan berarti kita ingin menghalangi penegakan hukum, tetapi kita harus mencari mekanisme internal yang kuat untuk menjaga integritas hakim agung," ujar Habiburokhman. Ia menambahkan bahwa pemanggilan yang mudah terhadap hakim agung berpotensi menggerus independensi dan integritas mereka, yang sangat krusial dalam menegakkan keadilan. Independensi hakim, menurut Habiburokhman, sangat penting karena hakim merupakan representasi keadilan dan harus mampu mengambil keputusan yang adil tanpa tekanan dari pihak manapun.

Habiburokhman juga menyinggung potensi intimidasi yang mungkin dialami hakim agung jika mereka mudah dipanggil oleh APH. Hal ini, menurutnya, akan berdampak negatif terhadap putusan-putusan pengadilan. Ia khawatir jika hakim agung merasa terintimidasi, maka hal ini dapat mempengaruhi objektivitas dan independensi mereka dalam memutuskan perkara. Oleh karena itu, ia mendesak agar MA dan lembaga terkait untuk segera meninjau dan memperbaiki sistem internal yang ada agar tercipta mekanisme yang lebih melindungi integritas dan independensi hakim agung di Indonesia. Ia berharap, perbaikan sistem ini dapat mencegah potensi intervensi yang dapat menggoyahkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

Lebih lanjut, Habiburokhman menjelaskan bahwa pemanggilan yang mudah kepada hakim agung juga bisa menimbulkan kekhawatiran terhadap intervensi dari pihak luar dalam proses pengambilan keputusan peradilan. Hal ini jelas sangat membahayakan sistem peradilan yang seharusnya independen dan bebas dari pengaruh kekuatan di luar hukum. Ia berharap agar ke depan, pemanggilan hakim agung oleh APH dapat dilakukan secara lebih terukur dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, serta diprioritaskan proses internal di MA terlebih dahulu.

Kesimpulannya, Habiburokhman menekankan perlunya perlindungan lebih besar bagi hakim agung guna menjaga independensi dan integritas lembaga peradilan Indonesia. Ia berharap usulannya dapat dipertimbangkan oleh pihak-pihak terkait agar sistem peradilan Indonesia dapat berjalan lebih optimal dan terpercaya di mata publik.