Penutupan Hiburan Malam Ramadan di Tulungagung Picu Polemik Ekonomi dan Sosial
Penutupan Hiburan Malam Ramadan di Tulungagung Picu Polemik Ekonomi dan Sosial
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Tulungagung yang menutup operasional tempat hiburan malam, seperti karaoke dan panti pijat, selama bulan Ramadan telah memicu reaksi keras dari para pengusaha sektor tersebut. Protes disampaikan dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi B DPRD Tulungagung, mengungkapkan dampak ekonomi yang signifikan akibat kebijakan tersebut. Para pengusaha mengaku mengalami kerugian besar dan mempertanyakan solusi yang ditawarkan pemerintah daerah.
Suwignyo, pemilik Kafe Karaoke Srikandi, menjadi salah satu pengusaha yang lantang menyuarakan keberatannya. Ia berpendapat bahwa Surat Edaran (SE) Bupati Tulungagung yang hanya melarang operasional karaoke, namun mengizinkan kafe tetap beroperasi, merupakan kebijakan yang kontraproduktif. Penutupan unit karaoke, yang merupakan sumber pendapatan utama, akan mengakibatkan kerugian finansial yang besar bagi usahanya. Suwignyo menuturkan, "Kalau kami hanya buka kafe kopi untuk menggaji karyawan tidak cukup. Apa mungkin satu cangkir kopi dijual Rp 50.000? Kalau ditutup, kami dapat apa, sementara hari raya kebutuhan meningkat?" Ia juga menyoroti nasib karyawannya yang mayoritas adalah janda dengan tanggungan anak, menegaskan bahwa kebijakan ini berdampak langsung pada perekonomian keluarga mereka.
Sentimen senada diungkapkan Suyono, Ketua Paguyuban Warung dan Hiburan Tulungagung (Pawahita). Ia menuding SE Bupati sebagai akar permasalahan yang berulang setiap Ramadan, tanpa solusi konkret yang ditawarkan kepada para pengusaha. "SE Bupati menjadi senjata petugas untuk merazia usaha kami," tegas Suyono. Ia menjelaskan bahwa karaoke merupakan tulang punggung pendapatan usahanya, mencapai 70%, sementara sisanya berasal dari penjualan makanan dan minuman di kafe. Penutupan unit karaoke secara efektif melumpuhkan pendapatan usahanya. Pawahita berharap pemerintah daerah dapat lebih memperhatikan keberlangsungan ekonomi para pengusaha dan karyawannya, bukan hanya fokus pada aspek keagamaan semata.
Menanggapi protes tersebut, Kabag Kesra Sekretariat Daerah Tulungagung, Makrus Manan, menjelaskan bahwa kebijakan penutupan tersebut telah melalui proses diskusi yang melibatkan berbagai pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), tokoh agama, dan perwakilan pengusaha. "Semua sudah terlibat dalam pembahasan ini sebelum diterbitkan menjadi SE Bupati," ujarnya. Sementara itu, Ketua Komisi B DPRD Tulungagung, Widodo Prasetyo, menyatakan bahwa masukan dari RDP akan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan selanjutnya. Meski demikian, ia tetap menyatakan dukungan penuh terhadap SE Bupati, mengingat proses penerbitannya yang telah melibatkan berbagai stakeholder.
Polemik ini menggarisbawahi kompleksitas dalam menyeimbangkan aspek keagamaan dan ekonomi, terutama dalam konteks kebijakan publik selama bulan Ramadan. Persoalan ini menuntut pemerintah daerah untuk lebih responsif terhadap dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan yang dikeluarkan, serta mencari solusi yang lebih inklusif dan berkelanjutan bagi seluruh pemangku kepentingan.
Masukan dari RDP akan dipertimbangkan untuk kebijakan selanjutnya.
Kebijakan penutupan telah melalui diskusi dengan berbagai pihak.
70% pendapatan pengusaha berasal dari unit karaoke.